Monday, November 16, 2009


Depok, (dulu) Tempat Jin Buang Anak

Depok adalah sebuah kota hasil pemekaran dari wilayah kabupaten Bogor. Posisinya sangat strategis karena menghubungkan Jakarta dengan Bogor. Maka tak mengherankan jika Depok mengalami perkembangan yang begitu pesat. Saat ini Depok salah satu kota penyangga dari Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta selain Bekasi, Tangerang, dan Bogor. Oleh karena itu sebutan Jabotabek yang dulu akrab di telinga kita, sekarang berubah menjadi Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi).

Saat ini, Depok memang menjadi sebuah kota yang ramai karena perkembangannya yang begitu pesat. Salah satu indikasinya adalah kemacetan. Kemacetan menjadi sesuatu yang tidak asing lagi bagi warga Depok dan sekitarnya. Angkutan Kota (Angkot), sepeda motor, dan juga mobil-mobil pribadi sama banyaknya. Hal itu terjadi seiring jumlah pendudukan kota Depok yang terus bertambah dan bertambah.

Mungkin sekarang tidak banyak yang tahu kalau Depok di masa lalu adalah sebuah wilayah yang terasa jauh dari Jakarta dan sangat sepi. Kata orang, Depok itu dahulu tempat jin buang anak. Ya, istilah itu sering saya dengar ketika dulu saya pertama kali datang ke Depok, tahun 1990. Orang Depok atau orang yang sudah lama tinggal di Depok, akan mengiyakan cerita tersebut. Kenapa Depok sampai disebut tempat jin buang anak? Begitu seramkah Depok di masa lalu?

Yang disebut Depok dulunya adalah Depok Lama, yang sekarang adalah salah satu kelurahan di kecamatan Pancoran Mas, kota Depok. Bagaimana ceritanya Depok yang dulu sepi dan menjadi tempat jin buang anak berubah menjadi kota yang ramai dan tak pernah lepas dari kemacetan? Berikut adalah sejarah kota Depok.

Pada akhir abad ke-17, tepatnya tanggal 18 Mei 1696, atau 13 Maret 1675 (ada dua versi), Cornelis Chastelein, seorang saudagar Belanda eks VOC membeli tanah di beberapa tempat, salah satunya adalah di Depok. Tanah Depok di beli dengan harga 700 ringgit, dengan status tanah partikelir atau terlepas dari kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.

Untuk memelihara tanah yang begitu luas dan subur tersebut diperlukan tenaga kerja. Chastelein mendatangkan pekerja-pekerja yang berjumlah kurang lebih 150 orang dari berbagai daerah seperti dari Sulawesi, Kalimantan, Bali, Betawi, dan daerah lain. Para pekerja dan keturunannya sering disebut sebagai budak. Ada juga yang menyebut mereka dengan istilah Belanda Depok. Tentang sebutan budak, mereka tidak keberatan karena memang sejarah mengatakan demikian. Namun tentang sebutan Belanda Depok, mereka keberatan pasalnya tak mau dianggap antek Belanda.

Sejak itulah Cornelis Chastelein menjadi tuan tanah, yang kemudian menjadikan Depok memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintah Belanda di Batavia menyetujui pemerintahan Chastelein ini, dan menjadikannya sebagai kepala negara Depok yang pertama.
Daerah otonomi Chastelein ini dikenal dengan sebutan Het Gemeente Bestuur van Het Particuliere Land Depok. Sebelum meninggal pada tanggal 28 Juni 1714, Chastelein sudah mempersiapkan surat wasiat yang isinya memerdekakan seluruh pekerja beserta keluarganya. Ia juga mengajak pekerja-pekerja untuk menganut agama Kristen Protestan dan dan meminta setiap kepala keluarga untuk memakai nama-nama sebagai berikut; Jakob, Joseph, Jonathans, Leander, Laurens, Loen, Samuel, Soedira, Zadokh, Isakh, Tholense, Bacas. Jadilah nama-nama tersebut sebagai marga orang Depok (Lama) hingga saat ini.

Rupanya surat wasiat Chastelien tersebut membuat berang gubernur jendral Belanda di Batavia. Gubernur tidak setuju kalau tanah-tamah itu diwariskannya kepada para pekerja. Maka dengan segera pemerintah Belanda mengirim utusan untuk membatalkan isi surat wasiat tersebut, dan mengubahnya menjadi tanah Depok yang diwariskan kepada anak Chastelein. Pengubahan surat wasiat itu cukup beralasan, sebab dalam undang-undang pemerintah kerajaan Belanda, tidak dibenarkan seorang Belanda mewariskan hartanya kepada orang lain, di luar orang Belanda.

Meski demikian, pemerintah Belanda masih mau bersikap luwes. Dibalik surat wasiat Chastelein disebutkan, bahwa para pekerja masih diijinkan menggarap tanah yang selama ini mereka kerjakan dengan status hak pakai. Secara hukum berarti para bekas pekerja berstatus penggarap sekaligus berhak menikmati sebagian hasil dari garapannya.Lama kelamaan hak pakai atas tanah tersebut berubah menjadi hak milik. Atau dikenal dengan Deelgerehtigen.

Para bekas pekerja itu merasakan hidup enak di masa pendudukan Hindia Belanda. Mereka bisa mengenyam pendidikan, bekerja di pemerintahan dan menjadi petani kaya dengan tanah yang luas. Namun nasib mereka berbalik saat Jepang menduduki Indonesia. Mereka mulai merasakan kesulitan hidup. Hal itu berlanjut hingga masa kemerdekaan.
Pada tanggal 4 Agustus 1952, pemerintah Indonesia mengeluarkan ganti rugi sebesar Rp. 229.261,26,-. Seluruh tanah partikelir Depok menjadi hak milik pemerintah RI, kecuali hak-hak eigendom dan beberapa bangunan seperti Geraja, Sekolah, Pastoran, Balai pertemuan, dan Pemakaman.

Pada tanggal itu pula berdiri LCC (lembaga cornelis chastelein), sebuah organisasi sosial yang mengurus sekolah, pemakaman, dan kesejahteraan penduduk Depok Lama..

Polemik Asal Mula Nama Depok

Seorang sejarawan Belanda yang menulis bahwa nama Depok berasal pada masa Cornelis Chastelein. Namun, H. Nawawi Napih, penduduk Depok yang sejak 1991 mengadakan penelitian membantah Depok baru dikenal sejak masa Cornelis Chastelein. Pendapat yang sama juga dikemukakan H Baharuddin Ibrahim dkk dalam buku 'Meluruskan Sejarah Depok'.

Argumen mereka adalah bahwa nama Depok sudah ada sebelum Chastelein membeli tanah Depok. Mereka mengutip cerita Abraham van Riebeeck ketika pada 1703, 1704, dan 1709 selaku inspektur jenderal VOC mengadakan ekspedisi menelusuri sungai Ciliwung. Melalui rute: Benteng (Batavia) - Cililitan - Tanjung (Tanjung Barat) - Seringsing (Serengseng) - Pondok Cina - DEPOK - Pondok Pucung (Terong).
Meski demikian masih ada perbedaan pendapat antara H. Nawawi Napih dengan H. Baharuddin Ibrahim perihal asal mula kata Depok.

Menurut H. Nawawi Napih, yang mendapat keterangan berdasarkan cerita MW Bakas, salah seorang keturunan asli Depok yang mengatakan, waktu perang antara Pajajaran dengan Banten-Cirebon (Islam) tentara Pajajaran membangun padepokan untuk melatih para prajuritnya dalam mempertahankan kerajaan. Padepokan ini dibangun dekat Sungai Ciliwung. Terletak antara pusat kerajaan Pajajaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Dari asal kata padepokan itulah kemungkinan nama Depok berasal.

Argumen yang menguatkan pendapat tersebut yaitu adanya nama-nama kampung di Depok yang menggunakan bahasa Sunda. Nama kampung tersebut seperti Parung Blimbing (di Depok Lama) di selatan, Parung Malela di utara dan Kampung Parung Serab di sebelah timur seberang Ciliwung berhadapan dengan Parung Belimbing. Kampung-kampung tersebut terletak di tepi kali Ciliwung. Di saat terjadi peperangang, kampung-kampung tersebut dijadikan basis pertahanan tentara Pajajaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui Kali Ciliwung. Kemungkinan yang lain, kampung tersebut dijadikan sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Versi yang lain diungkapkan menurut ''Sejarah Singkat Kota Depok'' dinyatakan antara Perumnas Depok I dan Depok Utara terdapat tempat yang disebut Kramat Beji. Di sekitarnya terdapat 7 buah sumur berdiameter satu meter. Di sekitar sumur tersebut, ada beberapa pohon beringin yang besar dan rindang. Di bawah pohon beringin itu, terdapat sebuah bangunan kecil yang selalu terkunci. Di dalam bangunan yang masih dapat kita jumpai terdapat banyak sekali senjata kuno, seperti keris, tombak dan golok. Menurut keterangan di Kramat Beji, dulu sering diadakan pertemuan antara Banten dan Cirebon. Jadi senjata-senjata ini peninggalan tentara Banten waktu melawan VOC. Ditempat semacam ini biasanya diadakan latihan bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut Padepokan. Dari sinilah, nama Depok kemungkinan besar berasal yakni dari kata Padepokan yang terletak di Kramat Beji.

Melalui bukunya yang berjudul ''Meluruskan Sejarah Depok'', H Baharuddin Ibrahim dkk membantah bahwa nama Depok berasal dari masa kerajaan Pajajaran. Alasannya, nama Depok di masa Pajajaran belum ditemukan, baik dalam naskah lama yang ditulis para penulis Portugis, maupun dalam cerita yang mengisahkan raja-raja Pajajaran. Menurutnya, padepokan baru dikenal setelah masa Islam. Karena untuk tempat yang sama di masa Hindu, orang menyebutnya sebagai Mandala.

Versi mana yang benar? Sangat menarik untuk diperbincangkan dan masih perlu penelusuran lebihh lanjut.

Sumber Referensi:
1. www.depok.go.id
2. http://ikatila.wordpress.com
3. http://Softoh-jamaah.blogspot.com
4. id.wikipedia.org/wiki/Kota_Depok

No comments:

Post a Comment

Daftar Bupati Purbalingga

DAFTAR BUPATI PURBALINGGA Foto: Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Purbalingga (medcom.id) Tahukah Anda, bupati Purbalingga saat ini y...