Tuesday, April 20, 2010

Aroma Sampah di Otista Raya Ciputat

Angkot berwarna putih meluncur di Jalan Otista Raya dari arah Pamulang menuju Ciputat. Di bawah terik matahari yang kian menyengat, angkot itu melaju dengan kencang. Sesampai di tikungan, tepat di depan gerbang masuk pasar Cimanggis, beberapa penumpang khususnya para wanita mulai siap-siap menutup hidung. Mereka sepertinya sudah hafal bahwa sebentar lagi bau menyengat akan segera menghadang. Bau itu datang dari sampah pasar yang menggunung di pinggir jalan, di ujung pasar itu.

Menurut beberapa warga sekitar, kondisi sampah yang menumpuk di pinggir jalan itu sudah terjadi semenjak pasar Cimanggis beroperasi, di tahun 2000. Pasar Cimanggis dibangun Pemerintah tahun 1999 sebagai alternatif bagi warga Ciputat dan Pamulang selain Pasar Ciputat yang sudah ada. Jarak antara kedua pasar itu hanya berkisar 1.5 km.

Selama ini, sampah memang menjadi masalah klasik bagi warga ibu kota Jakarta dan sekitarnya termasuk Ciputat. Sebelum pasar Cimanggis dibangun, sampah di pasar Ciputat juga sudah menjadi permasalahan karena selalu menumpuk di pinggir jalan. Setelah diangkut, sehari kemudian sampah sudah menggunung lagi di sana, begitu seterusnya.

Maka tak heran jika saat Ciputat lepas dari kabupaten Tangerang dan bergabung dengan enam kecamatan lain menjadi Kota Tangerang Selatan, banyak warga berharap persoalan sampah akan segera teratasi. Namun harapan tinggal harapan. Kenyataan yang terjadi berkata lain. Persoalan sampah belum menemui jalan keluar.

Bahkan sepertinya persoalan menjadi semakin pelik. Pasalnya, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Tangerang yang selama ini mengurusi sampah Ciputat sudah melepaskan tanggung jawabnya. Sementara Pemerintah Kota Tangerang Selatan yang baru terbentuk tahun 2009 belum memiliki Tempat Pembuangan Akhir (TPA)  sampah sendiri. Beberapa daerah lain seperti kabupaten Tangerang dan DKI menolak menerima sampah dari Tangerang Selatan.

Maka tak ada pilihan bagi pemerintah kota Tangerang Selatan kecuali harus membuat TPA sampah sendiri. Oleh karena itu,  Pemkot Tangerang Selatan akhirnya membangun TPA di Cipeucang, Serpong. Lokasi TPA tepatnya di Desa Kademangan, Kecamatan Setu. Namun baru seminggu beroperasi, TPA diblokir warga sekitar. Warga Kelurahan Serpong yang berada dekat dengan lokasi TPA merasa keberatan karena beberapa alasan. Alasan tersebut antara lain bahwa pembangunan TPA itu belum melalui sosialisasi dengan warga sekitar. Selain itu, warga Serpong merasa terganggu dengan bau sampah itu.

Sampah memang barang atau sesuatu yang sudah tidak berharga lagi sehingga dibuang. Namun persoalan yang ditimbulkan tidak bisa dianggap sepele. Butuh keseriusan dan kerja sama semua pihak untuk mengurusnya. Jika tidak, sampah akan terus menjadi persoalan yang tiada kunjung selesai.

Satu per satu angkot meluncur di Jalan Otista Raya Ciputat dan sebentar lagi akan melintasi Pasar Cimanggis. Para penumpang pun bersiap menutup hidung. Sebagian yang lain tampak tak ambil pusing atau mungkin sudah terbiasa dengan bau sampah itu. Entah sampai kapan masalah ini akan teratasi.

Tulisan ini sudah ditayangkan di Harian Online KabarIndonesia (HOKI).

Thursday, April 15, 2010

Tren Baru, Bekerja di Rumah

Judul Buku: KERJA DI RUMAH EMANG 'NAPA?
Penulis: Anang Y.B
Tebal: 152 + xxiii halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama
Terbit: 2009
ISBN: 978-979-22-5104-3

Tidak dapat dipungkiri bahwa bekerja tanpa kantor atau bekerja di rumah  menjadi tren baru saat ini. Faktor keluwesan dalam mengatur waktu kerja menjadi salah satu alasannya. Tentu ada faktor-faktor lain seperti ingin bekerja sambil mendampingi proses perkembangan anak-anak, bebas dalam berkreasi, menentukan sendiri besarnya penghasilan, bekerja bebas tanpa disuruh-suruh bos dan sebagainya.

Sederet alasan melatar belakangi banyak orang untuk memilih bekerja di rumah. "Jika ada seribu orang yang bekerja di rumah, bisa jadi ada seribu alasan pula yang bisa kita kumpulkan atas pertanyaan: Mengapa mereka memilih mencari uang dari rumah?" (Halaman 3).

Penulis, Anang Y.B. sangat jeli melihat tren yang terjadi belakangan ini. Dengan modal pengalaman pribadi dan orang-orang yang pernah ditemui, dia menulis buku ini. Buku "KERJA DI RUMAH EMANG 'NAPA?"  bisa menjadi panduan bagi siapa saja yang berkeinginan mencari nafkah dari rumah. Tidak sedikit karyawan kantoran yang mulai melirik peluang tersebut. Namun minimnya pengetahuan membuat mereka ragu untuk memulainya.

Pada halaman 4 buku ini, Anang Y.B. akan memandu bagaimana untuk memulai bekerja dari rumah. Ada tiga alternatif yang disodorkan. Alternatif pertama adalah tetap bekerja pada orang lain, kedua berkolaborasi dan ketiga jalan sendirian. Alternatif mana yang cocok? Tergantung dari kesiapan masing-masing pribadi.

Pembaca juga akan mendapat suntikan motivasi agar bisa menjadi orang yang sukses. Semua kesuksesan berawal dari mimpi. Meski terdengar klise namun hal itu benar adanya. "Tanpa mimpi, bisa jadi saya akan menyerah saat penerbit mengatakan naskah saya akan diterbitkan tahun depan saja. Ya, keinginan kuat yang muncul dari impian dan tidak kita biarkan terembus oleh angin bisa menjadi pendorong kita untuk sesegera mungkin menjadikan mimpi itu nyata". (Halaman 15).

Bagi pembaca yang selama ini merasa kurang percaya diri karena bekerja tidak sesuai dengan pendidikan, akan diyakinkan bahwa hal itu bukanlah persoalan. Di Solo, ada sebuah warung makan lesehan yang selalu ramai dipadati pengunjung. Satu hal yang menarik adalah sepasang suami istri pemilik warung itu. Suaminya adalah seorang sarjana hukum, sementara istrinya lulusan akademi sekretaris. "Bekerja tidak sesuai gelar, emang 'napa?" (Halaman 17-18).

Satu hal penting yang perlu diingat kalau ingin bekerja di rumah adalah untuk merubah mindset. Mindset seorang karyawan kantoran sangat berbeda dengan orang yang bekerja di rumah.  Beli seribu dijual sejuta. Itulah salah satu contoh mindset orang  yang bekerja di rumah dan mungkin tak pernah terpikirkan oleh karyawan kantoran.

Setelah keraguan untuk bekerja di rumah sudah terjawab dan mindset sudah diseting ulang, kini giliran mencari ide bisnis apa yang tepat. Pada bagian 2 buku ini,  diuraikan beberapa ide bisnis yang bisa dijalankan dari rumah. Mulai dari agen koran dan majalah, hobi yang ditekuni, agen kliping digital hingga membuka kursus.  Beberapa contoh tersebut hanyalah sebagian dari ribuan ide bisnis lain yang bertebaran. Tinggal kejelian dan kreatifitas dalam mencari serta menangkap ide-ide itu untuk segera ditekuni.

Jika sudah mantap memilih dan menjalankan bisnis dari rumah, langkah berikutnya adalah membesarkannya. Beberapa hal perlu dilakukan untuk membesarkan usaha. Mulai dari mengatur jam kerja, membangun komunitas baik offline maupun online, bagaimana bernegosiasi dan mencari modal usaha hingga masalah promosi. Semua hal itu akan dikupas pada bagian 3 buku ini mulai dari halaman 60 hingga 121.

Untuk lebih meyakinkan pembaca, Anang Y.B. memberi contoh kisah sukses pelaku bisnis rumahan (Bagian 4). Pada bagian ini menceritakan tentang kisah sukses seorang pelaku bisnis rumahan bernama Novi Trihastuti. Ibu dari dua anak itu sukses menjalankan bisnis batik Cirebon. Kenapa Batik Cirebon? Karena dia dilahirkan di Cirebon. Sering kali ide bisnis memang begitu dekat dan sederhana. Hanya orang-orang kreatif dan jeli  yang  mampu melihatnya.  

Pesan terakhir dari buku ini adalah Action Time, saatnya bertindak. Bisnis itu ada di alam nyata yang perlu adanya tindakan, bukan hanya rencana. Sebuah rencana yang tersusun rapi dan penuh perhitungan tak akan ada artinya jika tanpa tindakan segera. Maka pesan buku ini sangat jelas, segera bertindak setelah selesai membacanya.

Buku ber-cover warna kuning dengan gambar seorang ayah dan dua anaknya layak dibaca oleh siapa saja yang ingin mencoba usaha sendiri di rumah. Apalagi para karyawan kantoran yang sudah merasa jenuh atau kariernya mentok, sangat disarankan membaca buku ini. Siapa tahu kesuksesan justru akan datang dari rumah.


Tulisan ini telah ditayangkan di KabarIndonesia

Wednesday, April 14, 2010

Wasjudi, Perantau Tangguh dari Balapulang

Yayasan Pendidikan Sekolah Islam Al Syukro Ciputat pada Sabtu pagi di bulan Desember 2004 itu masih tampak sepi. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar obrolan dua orang yang sepertinya tengah membersihan kelas. Sumber suara itu ternyata Pak Warno, seorang karyawan senior. Sambil membersihkan kaca jendela dia bercakap-cakap dengan Wasjudi, karyawan baru, yang tengah menyapu lantai sebuah kelas di hari pertama kerjanya.

Saat itu, Wasjudi baru datang dari kampung dan langsung memulai melakukan pekerjaan sebagai cleaning service di lembaga pendidikan tersebut. Berkat jasa baik Pak Warno, dia bisa diterima bekerja di sana. Pria berbadan bongsor dan berkulit hitam itu tak perlu berpikir panjang saat Pak Warno menawarkan pekerjaan. Meski memiliki ijazah STM Pertanian, namun dia sadar bahwa tidak mudah mencari pekerjaan di Jakarta. Maka diterimalah pekerjaan sebagai petugas kebersihan itu.  

Pria kelahiran Tegal,  18 Juni 1975 itu termasuk sosok yang ramah dan mudah bergaul. Di lingkungan kerja, dia bergaul dengan siapa saja. Para guru dan karyawan sekolah Al Syukro tak asing lagi dengan sosok yang satu itu. Bahkan Pria yang humoris itu begitu dikenal di kalangan orang tua siswa.

Selain ramah dan humoris, Wasjudi juga dikenal sebagai sosok yang rajin, ulet dan pantang menyerah. Dia rajin melakukan tugasnya sebagai cleaning service. Bahkan dia sering masuk di hari Sabtu dan Minggu untuk membersihkan ruang-ruang kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Dia bekerja tujuh hari dalam satu minggu. Dia rela tidak libur demi tugas dan tanggung jawab yang diembannya.

Sadar akan penghasilannya sebagai seorang cleaning service, dia pun mencari pekerjaan sambilan. Dia pernah mengumpulkan bekas gelas air mineral yang berserakan di Kampus Sekolah Al Syukro untuk dijual. Meski tidak seberapa banyak uang yang dia kumpulkan dari barang bekas itu, namun baginya cukup lumayan untuk sekadar membeli beberapa bungkus rokok. Dengan begitu, dia tidak perlu mengutak-atik gaji jatah istri untuk sekadar memenuhi kegemarannya merokok.

Selain itu, dia juga pernah menjadi penyalur pembantu rumah tangga (PRT). Bermodalkan jaringan yang telah dia bangun dari bergaul dengan kalangan orang tua siswa, dia memberanikan diri untuk menawarkan jasa menyediakan tenaga pembantu rumah tangga. Suatu kali usai lebaran, dia kembali dari kampung dengan dua belas calon pembantu rumah tangga. Sebelum di kirim ke para pemesan, Wasjudi memberi pembekalan dan pengarahan.

Belakangan kegiatan itu tidak lagi dijalankannya. Beberapa orang pemakai jasanya merasa kecewa lantaran para PRT itu tidak betah. Bahkan beberapa diantaranya tidak bisa dipercaya. Satu persatu para PRT itu kembali ke kampung. Akhirnya Wasjudi pun gigit jari.

Meski demikian, Wasjudi bukanlah orang yang mudah patah semangat. Dia adalah sosok yang gigih. Suami dari Sarifah dan bapak dari Muhammad Irham itu tetap tersenyum meski kegagalan dan kesulitan menghampirinya. Dia memiliki slogan yang unik dan menarik yaitu, ”Mari kita mainkan!”. Begitu uniknya, teman-temannya sering menirukan slogan itu.

Pagi itu, ketika suasana masih sepi karena belum banyak karyawan yang datang, Wasjudi sudah memulai tugasnya membersihkan ruangan meski dia baru saja tiba dari kampung. Dia begitu menghargai waktu sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa waktu adalah uang. Maka ketika baru tiba di ibu kota, dia tak mau membuang-buang waktu lagi. Segera dia menyambut baik kepercayaan dan kesempatan yang telah diberikan dengan melaksanakan tugas. Waktu memang begitu berharga. Oleh karena itu, seperti slogan yang diyakini Wasjudi, "Mari kita mainkan!".

Tulisan ini telah ditayangkan di KabarIndonesia

Monday, April 12, 2010

Paijo, Potret Kaum Urban

Orang memanggilnya Paijo. Jarang yang tahu kalau pria kelahiran Somagede, Banyumas, 14 Februari 1970 itu memiliki nama asli Ahmad Sanrohmadi. Konon dulu ada seorang tokoh bernama Paijo pada sebuah film yang ditayangkan TVRI tahun 80-an. Kebetulan wajah dari Ahmad Sanrohmadi itu mirip tokoh Paijo di film itu. Maka dipanggillan Ahmad Sanrohmadi itu sebagai Paijo.

Karena ketidakmampuan kedua orang tuanya untuk melanjutkan pendidikan, maka dia hanya menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di Somagede pada tahun 1982. Dengan berbekal keberanian, dia mencoba mengadu nasib di ibu kota di tahun 1988. Pekerjaan pertama yang dilakukan adalah mengantar dan menjemput anak sekolah. Sadar akan sulitnya hidup di Jakarta, pekerjaan apapun dia lakukan. Mulai dari berjualan gorengan, kerupuk, bubur ayam, menjadi tukang becak dan tukang pijat pernah dilakukan.

Saat di Ciputat tahun 1999, pria penggemar kopi itu bertemu dengan Bapak Sunindiyo (Alm), sosok yang kemudian banyak memberikan pembelajaran kehidupan. Selain menjadi Bos, Pak Sunindiyo juga menjadi guru dan sekaligus orang tua bagi Paijo. Paijo kecil saat itu diajari bagaimana membersihkan halaman rumah, memotong rumput, membetulkan atap yang bocor, hingga menyetir mobil. Maka tidak salah jika akhirnya Paijo merasa menjadi bagian dari keluarga itu meski sudah tidak bekerja lagi di sana.

Melihat anak buahnya begitu rajin dan ulet, Pak Sunindiyo menawarkan pekerjaan di sanggar Guruh Soekarno Putra (GSP) pada tahun 1994. Sebagai seorang pemuda yang memiliki semangat dan keinginan, Paijo menerima tawaran itu. Di sana, dia bekerja di bagian kostum. Empat tahun bertahan di sana sebelum akhirnya berhenti di tahun 1998. Setelah itu, dia memberanikan diri merantau ke Sumatera Barat untuk bekerja di kebun sawit. Namun suami dari Sunarsih itu hanya bertahan empat bulan di sana.

Barangkali memang sudah jodohnya, dia akhirnya kembali ke Ciputat di tahun 1999. Dia kembali ke bosnya yang lama, Pak Sunindiyo. Berkat jasa salah seorang temannya yaitu Pak Suwarno, dia akhirnya diterima bekerja di Sekolah Islam Al Syukro Ciputat sebagai tukang kebun di tahun 2006 hingga sekarang.

Menurut Bapak dari empat anak itu, bekerja itu apa saja yang penting halal dan bisa menjalankannya. Apa yang dikatakannya bukan hanya sekadar nasehat karena berbagai profesi telah dilakoni pria bersahaja itu. Berbagai pengalaman telah menempanya menjadi sosok yang kuat, gigih, dan pantang menyerah.

Selain itu, pengalaman juga telah membuatnya menjadi lebih sabar dan bijaksana dalam menghadapi berbagai persoalan. Meski hanya berpendidikan SD, namun Paijo pandai dalam menghadapi ujian-ujian kehidupan. Saat rumah tangganya mengalami masalah lantaran kondisi ekonomi, dia menghadapinya dengan kesabaran yang luar biasa. Dia mampu menyembunyikan semua itu. Tak pernah mengeluh.

PROFIL:

Nama : Ahmad Sanrohmadi (Paijo)
Tempat/tanggal lahir: Banyumas, 14 Februari 1970
Alamat : Jl. Otista Raya Gg. H. Ma’ung No. 30 Ciputat
Agama : Islam
Pendidikan : Sekolah Dasar (SD)
Pekerjaan : Tukang Kebun (Gardener) di Sekolah Islam Al Syukro
Orang tua : Bapak : Tayasa Ibu: Lasinem
Istri : Sunarsih
Anak :
1. Eti Sinta Dewi
2. Agus Nurdiwan
3. Agus Supendi
4. Sepia

Tulisan ini telah ditayangkan di KabarIndonesia

Sunday, April 11, 2010

Cara Terbaik untuk Mulai adalah Mulai

“Cara terbaik untuk mulai adalah mulai” (Mario Teguh).

Banyak orang bercita-cita hebat, besar dan mulia. Ketika melihat seorang pengusaha yang sukses dan kaya raya, ingin rasanya menjadi seorang pengusaha. Begitu melihat di tayangan televisi seorang politisi yang cerdas, piawai, dikagumi dan mendapat simpati masyarakat, ingin menjadi seorang politisi. Melihat fenomena buku Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Sirazy dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, ingin sekali rasanya menjadi seorang penulis.

Semua keinginan itu adalah sah-sah saja dan tidak dilarang. Apalagi jika keinginan tersebut bisa membantu dan memuliakan orang banyak, betapa mulianya. Namun yang sering menjadi masalah adalah banyak orang yang bingung ketika akan memulai untuk meraih keinginan tersebut. Banyak orang bingung bagaimana dan dari mana harus memulai. Memang betapa sulit dan berat untuk memulai sebuah pekerjaan. Maka ada pepatah yang mengatakan bahwa langkah pertama adalah separuh dari perjalanan.

Untuk memudahkan langkah pertama, Pak Mario Teguh, seorang konsultan bisnis mengatakan bahwa cara terbaik untuk mulai adalah mulai. Jika ingin menjadi seorang pengusaha, segera keluar rumah untuk melihat peluang-peluang yang ada dan cocok untuk dilakukan. Setelah menemukannya, segera bertindak. Apabila ingin menjadi seorang politisi, segeralah mempelajari profil partai-partai yang ada. Jika  merasa cocok dengan sebuah partai setelah mengetahui ideologi, visi dan misi partai tersebut, segeralah bergabung.

Jika ingin menjadi seorang penulis maka segera ambil kertas dan pulpen lalu tulislah apa yang akan ditulis. Jika bingung, jangan memikirkan apa yang akan ditulis, tetapi tulislah apa yang ada di pikiran, demikian pesan dari para penulis senior. Masih bingung juga, belajarlah tentang menulis. Di era informasi sekarang ini, belajar apa saja secara otodidak bukanlah hal yang sulit. Tinggal ketik apa yang dicari di google, kemudian baca dan pelajari. Beres.

Meski demikian, tidak semua orang bisa dengan mudah dan nyaman belajar secara otodidak. Jika itu yang dialami, maka ada cara belajar menulis yang praktis dan mudah dilakukan yaitu  belajar menulis secara online di Sekolah-Menulis Online
Bagi yang ingin belajar menulis dari nol atau dasar, bisa daftar di  SMO - Kelas Pemula

Salam Menulis!

Foto: images.google.co.id

Saturday, April 10, 2010

Tertib dan Santun di Jalan? Bisa!

Suatu kali saya menyaksikan seorang ibu dengan menggendong bayi dan menuntun seorang anak kecil sedang menyeberang. Ketika di tengah jalan, sepeda motor melaju dengan begitu kencang. Tampak si ibu terhentak kaget. Saya sangat prihatin melihat pemandangan itu.

Timbul pertanyaan di hati, mengapa pengendara motor itu tidak peduli dengan seorang ibu yang kerepotan dengan dua anaknya yang sedang menyeberang jalan. Apa tidak mungkin memberikan kesempatan bagi orang yang mau menyeberang, atau paling tidak sekadar mengurangi kecepatan? Mungkinkah karena sedang terburu-buru mengejar waktu? Atau memang sudah tidak ada rasa kepedulian dan empati terhadap orang lain?

Selain itu, para pengendara sepeda motor juga sering ugal-ugalan dan melanggar tata-tertib lalu-lintas. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi tanpa menghiraukan pengguna jalan lain. Jika ada yang menghambat, mereka membunyikan klakson agar orang lain minggir. Jika ada orang yang mau menyeberang, mereka tidak peduli. Tetap ngebut.

Kalau jalanan sedang macet mereka menerobos seenaknya mencari celah. Tak jarang mereka naik ke trotoar yang sebenarnya dikhususkan untuk pejalan kaki. Jika ada pejalan kaki yang menghalangi, mereka membunyikan klakson agar si pejalan kaki minggir.  Perilaku mereka memperlihatkan seperti orang penting yang sedang memburu waktu. Bayangkan kalau setiap pengguna jalan berpikiran dan berperilaku seperti itu, bagaimana kondisi di jalan raya? Barangkali seperti itulah yang terjadi sekarang ini. Kemacetan dan kesemerawutan di jalan-jalan raya khususnya di ibu kota dan sekitarnya, menjadi pemandangan sehari-hari.

Memang pengguna jalan raya bukan hanya pengendara sepeda motor saja. Ada pengendara mobil, tukang bajaj, tukang becak, dan lain sebagainya. Namun dari semua itu yang terlihat mencolok adalah pengendara sepeda motor. Selain jumlahnya yang lebih banyak, pengendara sepeda motor paling sering melanggar tata-tertib di jalan raya.

Walaupun tidak semua pengendara sepeda motor seperti itu. Masih ada pengendara sepeda motor yang tertib dan santun dalam berlalu-lintas di jalan raya. Tetapi orang semacam itu sekarang ini menjadi makhluk yang langka. Timbul pertanyaan, mengapa bisa terjadi kondisi yang demikian?

Padahal rambu-rambu lalu-lintas ada, lampu merah ada, petugas polisi juga ada. Namun pelanggaran lalu-lintas tetap saja sering dan terus terjadi. Apakah itu terjadi karena rambu-rambu lalu-lintas dan petugas polisi yang masih kurang? Atau karena rendahnya disiplin para pengguna jalan, khususnya pengendara sepeda motor? Atau karena sebab lain?

Apa pun sebabnya, kita semua sebagai pengguna jalan raya harus berusaha mematuhi tata-tertib di jalan raya. Tidak hanya pengendara sepeda motor, tetapi pengendara mobil, tukang bajaj, tukang becak, juga pejalan kaki dan pengguna jalan raya lainnya, harus tertib. Kalau kita masih bisa tertib dan santun di jalan raya, kenapa tidak?

Foto: Google Images

Thursday, April 08, 2010

Mimpi Tukang Ketik Surat

“Kemampuan menulis surat mengantarkan para penulis pada status sosial dan jabatan yang tinggi”. (Republika, 15 Januari 2010)

Sepuluh tahun lebih berkecimpung di dunia ketik-mengetik surat, membuat saya tak asing lagi dengan dunia yang satu ini. Ya, dunia ketata-usahaan. Saya memang telah sepuluh tahun lebih bekerja sebagai pegawai tata usaha dari satu sekolah ke sekolah yang lain. Kerjaannya ya membaca kemudian mengetik surat, begitu setiap hari.

Lama-lama, berbagai konsep surat nempel di kepala. Jadi kalau Bos minta dibuatkan surat, tinggal tuangkan saja konsep yang telah nempel itu. Sampai suatu saat tersembul pikiran, ”Kalau begitu saya sebenarnya bisa jadi pengarang ya?”.

Mulai saat itu, saya bermimpi jadi seorang pengarang atau penulis. Nggak salah tuh? Saya rasa tidak. Setiap orang boleh bermimpi. Selagi mimpi itu masih gratis dan halal, mari kita bermimpi Bermimpilah apa yang kita inginkan! Tentu jangan sekadar mimpi, tetapi segera bertindak untuk mendaratkan mimpi itu ke dunia nyata.

Setelah bermimpi menjadi penulis saya berusaha untuk mempelajari dunia tulis-menulis. Berbagai artikel dan buku tentang kepenulisan saya baca. Saya juga browsing internet untuk mencari referensi tentang menulis. Saya bergabung dengan berbagai milis kepenulisan yang ada.

Selain belajar secara otodidak, saya juga mengikuti kursus atau pelatihan menulis secara online di Sekolah-Menulis Online. Selama belajar, saya langsung mempraktikkannya dengan menulis. Belum begitu lancar memang. Tulisan-tulisan ringan dan hanya dua tiga paragraf. Tulisan saya kirim ke media online seperti PenulisLepas dan KabarIndonesia.

Tidak seberapa dan belum membanggakan. Tetapi saya cukup puas. Saya yakin suatu saat akan mampu menghasilkan karya yang bisa dipublikasikan, Insya Allah. Hal yang terpenting adalah terus belajar dan menulis. Satu lagi kunci untuk sukses yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh d’Masiv, ”Jangan menyerah dan tak kenal putus asa”.

Salam Menulis!

Daftar Bupati Purbalingga

DAFTAR BUPATI PURBALINGGA Foto: Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Purbalingga (medcom.id) Tahukah Anda, bupati Purbalingga saat ini y...