Sejarah Purbalingga 2: Ki Arsantaka, Leluhur Bupati Purbalingga
|
Foto: Makam Ki Arsantaka (Dok. id.foursquare) |
Belum ada dokumen yang menceritakan tentang wafatnya kedua istri dari Raden Hanyokrokusuma. Namun di sebuah blog seputarpurbalingga.blogspot.com diceritakan bahwa setelah lama membujang, Raden Hanyakrakusuma kemudian kawin lagi dengan seorang puteri dari Arenan. Konon Arenan ini berasal dari kata Aren dan tempat itu ada di sekitar Kaligondang sekarang. Bila dilihat dari segi usia, perkawinan antara Adipati Onje dengan puteri Arenan ini sebenarnya tidak seimbang.
Dari perkawinan ini, Raden Hanyakrakusuma menurunkan Kiai Yudantaka dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka mempunyai kegemaran bertani. Ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.
Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran, kini kecamatan Bawang, Banjarnegara. Di sana ia kemudian diambil anak angkat oleh Kyai Rindik atau Ki Wanakusuma yang masih keturunan dari Ki Ageng Giring dari Mataram.
Pada tahun 1740-1760 Ki Asantaka diangkat menjadi demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II), Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.
Dalam perkawinannya dengan Nyai Merden, ia menurunkan:
1. Kiai Arsamenggala,
2. Kiai Dipayuda Gabug,
3. Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,
4. Kiai Ranumenggala, Demang Pasiraman,
5. Nyai Pancaprana
Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih Purbalingga.
Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan Pagendolan masih di bawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari, Purbalingga). Ngabehi Karanglewas waktu itu adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728.
Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Karena perang terjadi di desa Jenar, sebelah barat sungai Bogowonto, maka dikenal juga dengan nama perang Jenar. Perang Mangkubumen adalah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II. Perang itu terjadi dikarenakan Pangeran Mangkubumi merasa tidak puas dengan sikap kakaknya yang dianggapnya lemah terhadap penjajah Belanda.
Ada versi lain bahwa penyebab peperangan tersebut adalah karena Paku Buwono II ingkar janji terhadap adiknya Pangeran Mangkubumi. Pangeran Paku Buwono II pernah berjanji akan memberikan sebidang tanah jika Pangeran Mangkubumi berhasil menundukkan Mas Said. Namun janji itu tidak ditepati sehingga menimbulkan perselisihan antara Pangeran Paku Buwono II di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said di lain pihak. Dalam peperangan tersebut Belanda juga ikut campur dan berada di pihak Pangeran Paku Buwono II.
Saat itu pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya. Adipati Banyumas Raden Tumenggung Yudanegara III dan prajuritnya berada di pihak Paku Buwono II.
Ketika perang Mangkubumen mulai berkobar tahun 1749 Sunan Pakubuwana II wafat. Sebelum wafat, Paku Buwono II sempat menitipkan kerajaan Mataram kepada kompeni Belanda. Kemudian kompeni mengangkat putera Sunan Pakubuwana II menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwana III, atau Kanjeng Sunan Pakubuwana Senapati Nglaga Ngabdoerahman Sajidin panatagama Tata Pandita Rasaning Boemi, pada hari Senen Pagi bulan sura, Alip 1675 tahun jawa.
Dalam perang Mangkubumen yang terjadi di sebelah barat sungai Bogowonto tersebut, pasukan Adipati Banyumas Tumenggung Yudanegara III (Adipati Banyumas) yang dibantu oleh Dipayuda I, yaitu Ngabehi Karanglewas dan Ki Arsantaka berada di pihak Pakubuwono II.
Sementara itu pasukan Mangkubumen dalam menghadapi lawan, telah menggunakan taktik perang gerilya. Dengan demikian mereka berhasil menjebak serta membinasakan Pakubuwana III dan kompeni yang berjumlah besar. Majoor de Clerx, Kapten Hoetje dan Dipayuda 1 pada tagga 12 Desember 1751 (Minggu legi 22 Sura Jumawal 1677 Jawa) tewas dalam pertempuran itu. Jenazah Dipayuda 1 hilang. Sedangkan 40 orang serdadu Belanda (Kompeni) yang bersembunyi di desa Ganggeng ditawan. Pangeran Kabanaran beristirahat (mesanggrah) di Cengkawak.
Melihat kenyataan ini pembesar-pembesar VOC menjadai cemas. Mereka segera membujuk Pangeran Mangkubumi agar mau berdamai. Bujukan itu ternyata berhasil, tahun 1755 ditandatangani perjanjian Gianti yag isinya: Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, Mataram Barat diserahkan kepada Pangeran Mangkibumi dan Mataram Timur tetap dikuasai Sunan Pakubuwana III.
Kemudian Pangeran Mangkubumi bertahta menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sebagai patihnya diangkat Raden Tumenggung Yudanegara III, yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I. pengangkatan ini sbenarnya bersifat politis, karena meskipun Tumenggung Yudanegara III semula dianggap sebagai lawan, namun ia mempunyaipengaruh sangat besar dikalangan masyarakat, khusunya masyarakat Banyumas. Kerajaan Mataram barat disebut Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jogjakarta.
Mas Said masih terus melanjutkan perlawanan, tahun 1757 ia terpaksa mengadakan perdamaian. Dalam perjanjian Salatiga ditetapkan, bahwa Mataram timur (Surakarta) dipecah menjadi dua, sebagian tetap menjadi kekuasaan Sunan Pkaubuwana III, sebagian lagi diserahkan kepada Mas Said.
Mas Said kemudian bergelar Mangkunegara, dan daerahnya disebut Mangkunegaran.
Heroisme Ki Arsantaka ketika terjadi perang jenar
Dalam pertempuran tersebut Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur, jenazahnya hilang. Namun berkat ketekunan dan keberanian Ki Arsantaka jenazah tersebut berhasil ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.
Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II. Sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsayuda diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.
Setelah menjabat Ngabehi Karanglewas ternyata Raden Tumenggung Dipayuda II sakit-sakitan. Ia tidak lama menjabat sebagai Ngabehi Karanglewas yakni hanya tiga tahun, dari tahun 1755-1758. Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Kemudian jabatannya dilimpahkan kepada Ki Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.
Maka sampai disinilah keturunan dari Adipati Banyumas dan dimulainya keturunan Ki Arsantaka sebagai cikal bakal bupati purbalingga selanjutnya sekaligus berdirinya Kabupaten Purbalingga.
Sementara pada akhir hayatnya, Ki Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran. Namun atas pertimbangan ahli warisnya, kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.
Raden Tumenggung Dipayuda III, Bupati Purbalingga I
Di masa pemerintahan Ki Arsayuda (1728), ayahnya yaitu Arsantaka sebagai penasehat memberi saran agar pusat pemerintahan dipindahkan dari Karanglewas ke desa Purbalingga. Perpindahan pusat pemerintahan kemudian diikuti dengan pembangunan rumah, pendopo, kantor pemerintahan dan alun-alun pada tahun 1759. Dari situlah Tumenggung Dipayuda III kemudian dalam sejarah tercatat sebagai Bupati Purbalingga I.
Sejarah Purbalingga setidaknya tercatat dalam empat kitab babad yaitu kitab Babad Onje, Babat Purbalingga, Babad Banyumas dan Babad Jambukarang. Selain itu sejarah Purbalingga juga terdapat pada arsip-arsip peninggalan Hindia Belanda yang tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, maka pemerintahan kabupaten Purbalingga menetapkan tanggal 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 Je. Penetapan itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 15 tahun 1996. Dengan demikian, tanggal 18 Desember adalah hari jadi kota kabupaten Purbalingga.
Sumber Referensi:
1.
id.wikipedia.org
2.
purbalingga.go.id
3.
purbalingganews.net
4.
seputarpurbalingga.blogspot.com
5.
mencarisejarah.blogspot.com
Foto: id.foursquare.com