Senin pagi, 6 Januari 2020 Ciputat diguyur hujan. Jam setengah enam lewat
sedikit, saya sudah berkemas-kemas. Dengan berpayung, saya meluncur ke Taman
Kuliner Ciputat. Demi memenuhi kewajiban mengikuti kegiatan Employ Gathering.
Sesampai di Tamkul (Taman Kuliner) Ciputat, baru beberapa gelintir orang
terlihat di bus.
Di surat pemberitahuan tertera jam kumpul 05.00 WIB. Sedari awal saya
kurang yakin dengan ketentuan waktu itu. Ini ditambah hujan deras pula. Ketika
saya sudah duduk di bus, sekitar jam 06.20 baru ada informasi bahwa
pemberangkatan diundur menjadi 06.30 WIB. Alasannya banyak peserta yang
terkendala hujan. Ya gak kaget, wong sudah saya duga.
Jam 06.30 WIB pun masih meleset. Di bawah rintik gerimis, bus akhirnya berangkat
jam 06.55 WIB menuju Arung Jeram Alamanda Caringin – Bogor. Ada dua bus yang
membawa rombongan Karyawan Perguruan Islam Al Syukro Universal. Rute yang
ditempuh adalah Tol Lebak Bulus menuju Tol Jagorawi.
Sekitar jam delapan lewat, bus pembawa rombongan Employ Gathering berhenti
di Rest Area Sentul. Seperti biasa, untuk memberi kesempatan peserta ke Toilet.
Apalagi cuaca begitu dingin. Gerimis masih terus saja mengguyur ketika
rombongan kembali melanjutkan perjalanan.
Sekitar sembilan lewat (kalau tidak salah), rombongan Employ Gathering Al
Syukro Universal tiba di Arung Jeram Alamanda Caringin – Bogor. Panitia (EO)
dari Arung Jeram Alamanda Caringin menyambut rombongan Employ Gathering Al
Syukro dengan ramah dan penuh suka cita. Peserta Employ Gathering dipersilakan
untuk beristirahat sejenak. Sekitar 20 – 30 menit.
Setelah beristirahat, EO Alamanda Arung Jeram meminta para peserta untuk
berkumpul di areal lapangan. Acara dimulai dengan pembacaan doa oleh Ustad Elan
Jaelani. Dilanjutkan dengan sambutan Direktur Perguruan Islam Al Syukro Universal,
Ibu Cicih Kurniasih.
Setelah itu, beragam permainan, game-game pun mulai dimainkan. Kegiatan itu
berlangsung di bawah guyuran hujan yang rupanya tak mau berhenti. Semua peserta
basah kuyup diguyur hujan. Kecuali saya, dengan handycam jadul Merek Sony, saya
mengabadikan kegiatan itu dari Saung. Alhamdulillah. Acara berlangsung sampai
sekitar jam 10.30 WIB.
Kegiatan
dilanjutkan dengan Rafting di sungai Cisadane, Caringin - Bogor. Sebelum
rafting dimulai, EO memberikan pembekalan, tata cara dan tata tertib
pelaksanaan rafting. Peserta diminta untuk membentuk kelompok dengan jumlah 6
orang campur laki-laki dan perempuan. EO tidak menyarankan regu terdiri
perempuan semua. Hal itu untuk mengantisipasi jika terjadi kendala di lapangan.
Jadi, setiap regu harus ada peserta laki-lakinya.
Sebelum terjun ke
sungai Cisadane, peserta rafting menyempatkan untuk foto bersama. Saat itulah
saya mencari lokasi yang pas untuk mengabadikan peserta rafting. Saya jalan
beberapa puluh meter dari lokasi kumpul peserta. Dari bawah sebuah saung, saya
mengabadikan teman-teman peserta rafting. Hasilnya memang tidak sempurna.
Maklum, peralatan seadanya. Jadul pula. Lokasi juga tidak terlalu strategis.
Tapi saya pikir gak papa. Lumayan lah.
“Pak Badiyo gak
ikut Rafting?” tanya seorang teman
Sejujurnya, kalau lihat teman-teman naik perahu karet menyusuri sungai,
hati saya ini gak karuan rasanya. Pikiran melayang ke masa silam. Saat usia
masih belasan, hampir tiap hari saya main di sungai. Bahkan sejak masih di SD.
Rumah orangtua saya dulu memang dekat dengan sungai Serayu. Sekitar dua
ratus meteran lah. Di desa Kembangan Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga
Jawa Tengah. Kampung itu dilewati sungai yang cukup besar, Serayu. Ya, sungai
yang membentang dari dataran tinggi Dieng di Wonosobo mengalir melewati wilayah
Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan akhirnya bermuara di Cilacap.
Bagi saya, berenang dan bermain di sungai dulu itu biasa. Hampir setiap
hari, saya bercengkerama dengan derasnya sungai Serayu. Menyeberang dari satu
sisi sungai ke sisi yang lain. Loncat dari atas perengan, lalu nyebur dan
berenang ke sana kemari.
Walaupun memang kondisi sungainya sedikit berbeda. Tidak ada batu-batu
besar di sungai Serayu di kampung saya. Ini berbeda dengan sungai Cisadane di
Caringin Bogor yang banyak batu-batu besar.
Dulu saat saya main di sungai gak pakai alat bantu apa pun. Kalau pun ada
alat bantu, paling-paling pakai ramon.
Tahu apa itu ramon? Ya, ramon adalah batang pohon pisang. Satu batang pohon
pisang dipotong bisa jadi dua atau tiga bagian. Ramon itulah yang dipakai
anak-anak kampung untuk menyusuri sungai. Ramonan kata anak-anak di kampung
saya dulu. Tapi itu jarang. Anak-anak kampung lebih sering bermain di sungai
tanpa alat apapun.
Ya, tapi itu
dulu, saat saya masih usia belasan tahun. Sekarang, saya harus sadar diri. Kondisi
fisik sudah jauh berubah. Terlebih,
jauh-jauh hari istri sudah wanti-wanti. “Gak usah ikut-ikut permainan ya!
Permainan apa pun gak usah ikut. Inget usia kita, gak muda lagi!” pesan istri.
Terima kasih,
istriku, Retno Utari sudah mengingatkan. Kalau gak, mungkin saya ini gatel liat
teman-teman main rafting. Bawaannya pengin nyebur aja. Hahaha. Habis, inget
dulu waktu masih anak-anak di kampung. Main di sungai itu mainan saya. Kalau
kata anak sekarang, “Gue banget” itu. Hahahaha. Tapi ya sudah lah, apa boleh
baut.
Saya cukup jadi
penonton yang produktif. Loh, apa maksudnya penonton yang produktif. Ya, saya
tidak cuma nonton doang. Sambil nonton, saya dokumentasikan teman-teman yang
ikut rafting. Meski hasilnya gak
bagus-bagus amat, tapi lumayan lah. Ada dokumentasinya. Teman-teman bisa lihat
di akun youtube saya, Mas Badiyo. Alhamdulillah.
No comments:
Post a Comment