Dibuang sayang. Artikel ini saya tulis beberapa waktu yang lalu usai Timnas kalah 0-10 dari Bahrain. Telah saya kirim ke redaksi tabloid Bola untuk dimuat di rubrik Oposan. Namun setelah beberapa waktu ditunggu, ternyata tak nongol juga. Jadi saya berkesimpulan bahwa tulisan tersebut tidak berhasil alias gagal tayang di tabloid Bola. Dari pada dibuang sayang, maka saya posting di blog ini, untuk sekadar arsip dan bisa dibaca orang lain.
Rekonsiliasi atau Revolusi
Semua orang sudah tahu bahwa Indonesia dicukur 0-10 oleh Bahrain dalam pertandingan terakhir babak kualifikasi Pra Piala Dunia 2014 Brasil zona Asia. Memang apa pun hasilnya, pertandingan itu tak berpengaruh lagi bagi tim Merah Putih karena dari tiga kali pertandingan sebelumnya, Indonesia selalu kalah dan menjadi juru kunci grup E di bawah Iran, Qatar dan Bahrain. Meski begitu bukan berarti Indonesia akan menyerah begitu saja. Karena bagaimana pun pertandingan itu membawa nama baik bangsa dan negara Indonesia.
Beberapa hari sebelum pertandingan, pengurus PSSI menyampaikan bahwa Indonesia akan tetap bermain serius. PSSI akan memanfaatkan pertandingan itu untuk memperbaiki peringkat Indonesia yang belakangan turun. PSSI juga berjanji akan membuat kejutan di laga terakhir kualifikasi Pra Piala Dunia 2014 Brasil zona Asia grup E. Kejutan yang ditunggu pecinta sepak bola Indonesia tentu kemenangan atau minimal seri. Setelah pertandingan, seluruh rakyat Indonesia tahu bahwa kejutan yang terjadi adalah kekalahan telak 0-10. Kekalahan terbesar sepanjang sejarah persepak bolaan Indonesia.
Dalam pertandingan itu, PSSI terpaksa mengirimkan pemain yang berbeda dengan sebelumnya karena konflik yang mendera PSSI. Konflik itu melahirkan dualisme kompetisi di Indonesia. PSSI tetap melaksanakan kompetisi Indonesian Premier League (IPL), metamorfosis dari Liga Primer Indonesia (LPI). Sementara pihak yang tidak setuju dengan kebijakan PSSI itu memilih berkompetisi di Indonesian Super League (ISL).
PSSI menganggap semua kompetisi di luar IPL adalah ilegal dan semua pemain yang bermain di sana tidak bisa membela Timnas. Faktanya adalah bahwa sebagian besar pemain-pemain terbaik dan menjadi langganan Timnas bermain di ISL. Kebijakan PSSI tersebut adalah sebuah arogansi yang nyata. Semua orang tahu bahwa pemain-pemain terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini sebagian besar bermain di ISL. Arogansi pengurus PSSI telah mengorbankan dan menghancurkan sepak bola Indonesia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah sepak bola, Indonesia mengalami kekalahan telak 0-10 dari Bahrain. Usai kekalahan itu, Ketua PSSI Johar Arifin Husein menuding wasit yang memimpin pertandingan sebagai biang keladi kekalahan Merah Putih. Menurutnya, hadiah kartu merah untuk penjaga gawang Samsidar di menit ke-3 telah menghancurkan mental para pemain. Kontroversi pertandingan itu memang terus bergulir. FIFA dan AFC juga memiliki kecurigaan dan akan menyelidiki pertandingan itu. Namun apa pun itu, Ketua PSSI sepantasnya bersikap gentlemen dan mengakui kekalahan itu.
Kekalahan 0-10 dari Bahrain tak bisa dilepaskan dari kekisruhan yang membelit PSSI. Dualisme kompetisi adalah awal dari bencana sepak bola Indonesia. Dualisme kompetisi terjadi akibat arogansi para pengurus PSSI yang memaksakan kehendak. Sesuai hasil Konggres PSSI di Bali, kompetisi kasta tertinggi adalah Liga Super Indonesia yang diikuti oleh 18 tim. PSSI di bawah Ketua Umum Johar Arifin Husen memaksa menambahkan peserta menjadi 24 tim. Dengan alas an apa pun, kompetisi yang diikuti 24 tim sangat berat baik secara ekonomi maupun kesiapan fisik para pemain. Apalagi kondisi geografi Indonesia yang luas membentang dari Banda Aceh sampai Jayapura. Sekadar membandingkan, Inggris, Italia dan Spanyol yang secara geografis lebih sempit dan sepak bolanya lebih maju, kompetisinya hanya diikuti 20 tim.
Ketika beberapa klub memprotes kebijakan itu, PSSI tak bergeming dan tetap menggelar kompetisi yang diikuti 24 tim dengan label Indonesia Premier League (IPL). Selain itu PSSI juga mengalihkan penyelenggara kompetisi dari PT Liga Indonesia ke PT Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS). Merasa protesnya kurang ditanggapi, akhirnya beberapa klub peserta mengundurkan diri dan memilih mengikuti Liga Super Indonesia yang diselenggarakan oleh PT Liga Indonesia.
Dari sinilah klub-klub sepak bola di tanah air mulai tercerai berai. Ada klub yang mengikuti kompetisi versi PT Liga Indonesia, ada klub yang mengikuti kompetisi versi LPIS. Satu propinsi atau satu kota ada yang klubnya bermain di kompetisi yang berbeda. Di Jawa Tengah misalnya, Persijap, PSIS, PSCS dan PSIR memilih berkompetisi di bawah PT LPIS. Sementara Persiku, PSIM dan Persip Pekalongan memilih berkompetisi di PT Liga Indonesia. Di Jawa Timur pun demikian. Bahkan ada bebera klub sampai terbelah seperti Persija, Persitara, Persebaya, Gersik United, Arema Indonesia, PSMS Medan dan Persis Solo. Dari sini sudah jelas terlihat bahwa pengurus PSSI yang telah mencabik-cabik persepak bolaan tanah air.
Ada pepatah lama mengatakan, “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Rasanya pepatah itu tetap relevan untuk menjadi pedoman di masa sekarang. Kekalahan telak atas Bahrain adalah akibat dari tercerai berainya insan sepak bola Indonesia. Pertanyaannya adalah, mungkinkah seluruh komponen sepak bola Indonesia bisa bersatu lagi? Atas nama bangsa dan negara Indonesia, harus bisa. Meskipun hal itu bukanlah perkara mudah. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana caranya.
Langkah pertama adalah instrospeksi bagi para pengurus PSSI. Hal ini juga disampaikan oleh Presiden SBY di sebuah kesempatan usai Merah Putih digulung Bahrain. Beliau berpesan agar para pengurus PSSI instrospeksi. Para pengurus PSSI harus menyadari bahwa kebijakannya selama ini adalah keliru. Alih-alih untuk memajukan, tetapi justru menghambat kemajuan bahkan menghancurkan sepak bola Indonesia. Jiwa besar dan kerendahan hati sangat para pengurus PSSI sangat diharapkan. Ego pribadi dan kelompok harus disingkirkan demi kepentingan yang lebih besar, bangsa dan Negara Indonesia.
Langkah kedua adalah rekonsiliasi. Kata rekonsiliasi sebenarnya sudah menggema usai Konggres Luar Biasa PSSI, 9 Juli 2011 lalu. Setelah terpilih sebagai nahkoda baru PSSI, Johar Arifin Husein-Farid Rahman mengajak rekonsiliasi. Fakta yang terjadi justru sebaliknya. Orang-orang atau kelompok-kelompok yang berseberangan, justru satu persatu disingkirkan. Langkah tersebut jelas tidak menyelesaikan masalah bahkan sebaliknya menimbulkan masalah baru. Maka tidak ada pilihan lain bagi PSSI kecuali mau menerima dan merangkul kembali pihak-pihak yang selama ini terlanjur berseberangan.
Langkah ketiga adalah Revolusi. Mantan pelatih Timnas U-23, Rahmad Darmawan menyampaikan dua alternatif untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia dari jurang perpecahan. Jika rekonsiliasi tidak bisa dicapai, RD menyarankan untuk melakukan revolusi terhadap sepak bola Indonesia. Namun demikian, rekonsiliasi adalah pilihan yang terbaik bagi semua pihak. Apalagi bangsa Indonesia dikenal sangat demokratis yang selalu mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika rekonsiliasi tidak bisa dicapai, maka tak ada pilihan untuk menyemalatkan sepak bola Indonesia kecualai revolusi.
pak mas badiyo, artikel anda sangat menarik, setelah selesai membaca, maaf ya, kayak anda mendukung di salah satu pihak, ku sendiri kurang begitu paham secara detil kemelut pssi ini, yang jelas mayoritas atau kelompok yg besar atau yg brkuasa belum tentu yg benar secara hukum, sedang yg minor dan kurang tenar belum tentu salah di mata hukum, apalagi kalau uang sudah ikut main trkadang kebenaran bisa samar. Salam damai selalu, jaya indonesia
ReplyDeleteBetul Mas Ian Supriyanto. Walau saya sebenarnya netral karena tidak ada kepentingan pribadi. Namun melihat pengurus PSSI sekarang yang menurut saya terkesan arogan dan tak mau mendengar aspirasi pihak lain, akhirnya saya jadi terjebak mendukung salah satu pihak. Walau, memang sejatinya netral, karena bagi saya sebagai pecinta sepak bola nasional, yang penting adalah sepak bola Indonesia bisa maju, siapa pun pengurusnya.
ReplyDeleteTerima kasih sekali atas komentar dan perhatiannya.