Sebenarnya tadinya saya
ingin untuk tidak menulis lagi tentang politik. Selain kurang bermanfaat, menulis
tentang politik dikhawatirkan akan menimbulkan perselisihan yang tidak perlu.
Namun melihat maraknya hoax dan banyaknya orang yang tertipu berita palsu, dengan terpaksa saya kembali menulis hal-hal yang berbau politik. Satu alasan kuat yang saya pegang adalah, ikut berperan serta dalam gerakan melawan hoax.
Namun melihat maraknya hoax dan banyaknya orang yang tertipu berita palsu, dengan terpaksa saya kembali menulis hal-hal yang berbau politik. Satu alasan kuat yang saya pegang adalah, ikut berperan serta dalam gerakan melawan hoax.
Saya memang bukan orang
politik, apalagi pengamat atau pakar. Saya sadar kalau saya bukan siapa-siapa. Saya
hanya seorang awam yang sedikit melek politik. Pemahaman politik saya yang
sedikit itu diperoleh mungut di jalanan.
Sejak masih sekolah
dasar saya sudah senang membaca meski saat itu yang saya baca adalah Koran bekas
bungkus kacang. Selain itu saya suka mendengarkan siaran Warta Berita yang
disiarkan oleh Radio Republik Indonesia. Dulu saya punya kebiasaan belajar
sambil mendengarkan radio.
Jika nonton tivi, acara
favorit saya adalah siaran Dunia Dalam Berita da siaran Berita Nusantara. Selain
siaran lagsung sepak bola tentunya. Itu dulu saat baru ada satu stasiun yakni
TVRI. Setelah RCTI, SCTV dan televisi swasta lain bermunculan, acara favorit saya
tetap yang berkaitan dengan berita dan siaran lagsung sepak bola. Seputar Indonesi,
Liputan 6, Kabar Pagi, Metro Siang, Kompas Petang dan sejenisnya adalah acara
favorit saya. Begitu juga dengan siaran langsung sepak bola, terutama saat
Timnas Indonesia main.
Kalau membaca Koran,
Alhamdulillah sekarang yang saya baca koran baru meski itu numpang fasilitas
kantor. Bahkan terkadang membaca satu koran terasa kurang. Saya sering merasa
butuh koran lain sebagai pembanding. Kebetulan di kantor ada tiga koran berbeda,
Republka, Sindo dan Kompas. Setiap pulang, saya pinjam Koran itu untuk di baca
di rumah sambil leyeh-leyeh. Besoknya baru dikembalikan lagi. Walau sering juga
koran itu akhirnya tak tersentuh karena kecapean. Maklum faktor U.
Belakangan ada fenomena
yang membuat saya gelisah. Itu juga yang memicu dan memaksa saya kembali
menulis hal-hal berbau politis seperti tulisan ini. Bagaimana tidak. Banyak
orang yang nyaris tidak pernah membaca Koran, kalau nonton tivi mungkin yang
ditotonton sinetron, sule, atau parto atau uttaran. Tapi begitu lantang dan
yakin ketika ngomong soal politik. Misalnya tentang isu bankitnya PKI.
Dari mana mereka
mendapat berita kalau PKI itu akan bangkit lagi di Indonesia? Pasti dari media sosial
yang tidak jelas sumbernya. Meski tidak jelas sumber dan kredibilitasnya, namun
tetap saja banyak yang percaya dan ikut men-share dan menyebarkannya. Padahal
isu tersebut adalah hanya kabar burung yang mungkin sengaja dihembuskan oleh
pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Ya, itulah politik.
Jika ditelisik ke belakang,
isu PKI itu mulai dihembuskan sejak masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres)
2014 lalu. Saya masih inget waktu itu ada seorang kawan yang mengatakan bahwa kakek
salah satu Capres adalah seorang tokoh PKI. Saat itu saya sudah sampaikan ke
kawan saya bahwa itu adalah bagian dari Black Campaign. Namun kawan saya tetap
dengan keyakinanya. Saya tidak bisa memaksanya. Silakan saja.
Ketika capres yang
diisukan keturunan PKI itu akhirnya terpilih menjadi presiden yakni Joko
Widodo, maka isu itu kembali dihembuskan. Isu yang tidak benar atau kabar
bohong itulah yang sekarang popular disebut Hoax. Itu sebabnya kenapa orang yang
mudah percaya hoax semacam itu adalah mereka yang pada saat Pilpres 2014
mendukung Prabowo. Meski tidak semua begitu namun kebanyakan faktnya demikian.
Sebenarnya dalam Negara
demokrasi itu setiap warga Negara berhak mengkritisi dan mengoreksi
pemerintahn. Hal itu sudah dijamin dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi: “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluaran pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”.
Namun kritik dan saran
yang disampaikan haruslah hal-hal yang nyata dan berdasarkan fakta. Bukan berdasarkan
isu-isu yang tidak jelas sumbernya dan tidak bisa dipertnggungjwabkan. Selin
itu kritik dan masukn juga hendaknya disampaikan secara baik dan benar sesuai
dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku.
Sebagai warga negara yang
baik kita berkewajiban untuk menjaga kedamaian dan ketenteraman masyarakat.
Jangan smapai kita ikut-ikutan menyebarkan berita-berita yang tidak benar dan
menyesatkan.
Hak kita sebagai warga negara
untuk ikut menentukan pemerintahan adalah saat Pemilihan Umum dan Pemilihan
Presiden. Dan itu sudah kita ambil pada saat Pileg dan Pilpres 2014 lalu.
Sebagai warga negara dan rakyat biasa, kita harus menerima siapapun yang
menang. Jika kecewa karena pilihan kita kalah, boleh saja. Namun jangan
menyalahkan pihak lain. Tunggu tahun 2019 untuk bertanding lagi.
Ibarat pertandingan sepak
bola Piala Dunia, final selama 90 menit sudah selesai. Jika kurang puas karena
kalah, tunggu empat tahun lagi di Piala Dunia berikutnya. Betapa kecewanya Argentina
ketika takluk dari Jerman di Final Piala Dunia 2014. Namun Messi dan
kawan-kawan tidak menyebar hoax: Jerman PKI. Tidak begitu. Argentina tetap
sabar menungggu Piala Dunia berikutnya, tahun 2018 di Russia.
#EdukasiAntiHoax
#LiterasiMedia
#BerpartisipasiMelawanHoax
No comments:
Post a Comment