Usai makan siang, para jamaah masih harus bersabar menunggu Panitia memroses kamar dengan pihak hotel. Jam dua yang dijanjikan akhirnya lewat juga. Kecewa memang namun sekali lagi para jamaah sadar bahwa ini adalah perjalanan ibadah. Sehingga semuanya harus disikapi dengan sabar.
Ada memang satu dua jamaah yang mempetanyakan profesionalitas panitia atau petugas agen travel. “Dia terlihat kebingungan, sepertinya belum pengalaman,” kata salah seorang jamaah kepada jamaah yang lain.
Sejak jam satu lewat Panitia memang sudah bolak-balik menemui petugas hotel. Namun hingga jam setengah tiga, Panitia belum berhasil mendapatkan kunci kamar untuk para jamaah. Ada kesan memang Panitia sepertinya belum punya pengalaman yang cukup dalam menangani hal-hal seperti itu.
Para jamaah hanya bisa menduga-duga dan tidak tahu persis apa sebenarnya yang terjadi. Rupanya Panita belum dapat kunci karena kamar masih isi dan menunggu penghuninya check out.
Satu hal yang patut disyukuri, tak satu pun jamaah yang sampai kehabisan kesabaran. Mereka tetap tenang dalam penantian. Hingga waktu yang dinanti tiba. Hampir setengah empat sore, panitia membagikan kunci kamar kepada para jamaah. Per kamar rata-rata 4 jamaah, meski ada juga yang 5 jamaah. Alhamdulillah.
Para jamaah masuk kamar masing-masing untuk menaruh barang, beres-beres, mandi dan istirahat sejenak. Ada beberapa jamaah yang hanya menaruh koper di kamar kemudian keluar lagi menuju Masjid Nabawi untuk solat Ashar.
Saya memanfaatkan waktu untuk beres-beres dan mandi. Karena itu saya ketinggalan solat Ashar berjamaah di Masjid Nabawi. Setelah semua beres, saya keluar kamar menuju Masjid Nabawi untuk solat Ashar. Kebetulan saya bertemu dengan salah satu jamaah yang juga mau solat Ashar di Masjid Nabawi. Namanya Pak Slamet, lengkapnya Slamet Dulrosyid dari Rawamangu – Jakarta Timur.
Kami berdua berjalan dengan bergegas menuju Masjid Nabawi. Sesampai di depan pintu Masjid, Pak Slamet mengeluarkan plastik kresek dari Tas Travel Umrohnya untuk membungkus sandalnya. Sementara saya dengan santai menaruh sandalnya di antara deretan sandal yang ada di depan masjid.
“Pak Sandalnya dibawa pak! Bawa Plastik kan?” sergah pak Slamet
“Saya lupa nggak bawa plastik. Biarin sandal saya taruh di sini saja pak,” jawab saya
“Ohh ya sudah,” kata pak Slamet
Kami berdua masuk ke Masjid Nabawi. Karena sudah lewat waktu, kami melakukan solat Ashar berjamaah berdua. Usai solat dan dzikir, kami ngobrol tentang kemegahan dan keistimewaan Masjid yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Masjid yang terletak di pusat kota Madinah itu memiliki keutamaan di mana setiap orang yang solat di masjid itu mendapat pahala 1000 kali lipat.
Sambil memandangi arsitektur dan berbagai ornament Masjid, Pak Slamet mengajak saya untuk tetap di Masjid hingga usai solat Maghrib.
“Pak, kita nyambung sampai solat Magrib ya, biar nggak capek bolak-balik,” ajak pak Slamet.
“Boleh,” jawab saya sedikit ragu sambil memikirkan sandal saya yang ditaruh di depan masjid.
“Kalau begitu, saya ke depan dulu ya pak untuk mengambil Sandal,” kata saya.
“Ya, silakan pak,” sahut Pak Slamet.
Saya melangkah ke depan masjid untuk mengambil sandal. Mata saya mengamati satu per satu sandal yang ada di sana. Deretan sandal sudah tak sebanyak saat saya masuk masjid tadi. Setelah saya periksa semua sandal yang ada tersisa, tidak ada sandal saya di sana, Saya hanya melihat seorang laki-laki tua sedang memerksa sandal-sandal yang ada di depan masjid dengan tongkat di tangannya.
Rasa penasaran membuat saya mencoba melihat kaki leaki tua itu. “Dia sudah mengenakan sandal, kenapa dia masih memerksa sandal-sandal yang ada di depan masjid itu?”tanya saya dalam hati. Saya juga mengamati kalau setiap jamaah selalu membawa sandalnya dengan kantong plastic ke dalam masjid. “Terus sandal siapa yang ada di depan masjid?” bisik saya dalam hati. Ah tapi sudahlah.
Saya bergegas kembali ke dalam masjid menemui Pak Slamet.
“Wah benar pak, sandal saya hilang,” kata saya kepada Pak Slamet
“Ah, yang bener, sudah dicek semua belum,” kata Pak Slamet
“Sudah saya cek semua, nggak ada” kata saya
“Ayo kita cek lagi,” ajak Pak Slamet
Kami berdua mengecek kembali deretan sandal yang ada di depan masjid. Dari ujung kiri hingga ujung kanan tempat kami berdua masuk. Memang sudah tidak ada sandal Neckerman warna coklat milik saya di sana.
“Bapak sih, tadi kan saya sudah sarankan untuk dibawa. Kan di buku Panduan juga sudah ada petunjuknya kalau kita harus sedia pastik untuk membungkus sandal saat ke masjid,” kata Pak Slamet.
“Iya, saya lupa. Ya sudah pak nggak papa,” jawab saya.
Sebenarnya saya bawa dua pasang sandal lagi namun repot ambilnya karena ada di kamar hotel. Maka saya putuskan untuk membeli sandal di kios yang terletak di dekat Gate (Pintu) 37 Masjid Nabawi. Sandal putih seharga sepuluh riyal. Sandal Neckerman warna coklat yang hilang sudah saya ikhlaskan.
Ada pelajaran yang bisa saya petik dari peristiwa itu. Bukan soal iklas atau tidak ikhlas, toh sandal sudah hilang dan mungkin ketemu lagi. Pelajarannya adalah bahwa kita harus selalu mengikuti panduan, petunjuk dan tata tertib yang sudah ada di buku panduan umroh itu.
Jangan membawa kebiasaan kita di Indonesia yang biasa menyepelekan hal-hal kecil. Sesepele dan sekecil apa pun itu harus kita perhatikan. Satu kantong plastik kresek yang tidak berharga menjadi sangat penting saat kita beribadah umroh di tanah suci.
Jangan juga membawa kebiasaan menaruh sandal begitu saja di depan masjid. Masjid Nabawi adalah salah satu masjid terbesar di dunia yang setiap saat dikunjungi puluhan bahkan ratusan ribu jamaah.
Jangan juga terpengaruh deretan sandal yang ada di depan masjid. Kita nggak tahu sandal siapa itu. Bungkus sandal kita dengan plastik kresek, masukan ke tas tenteng travel umroh, bawa masuk ke dalam Masjid. Dengan begitu kita bisa ibadah dengan lebih khusyu’, Insya Allah.
No comments:
Post a Comment