Sejarah Purbalingga: Ki Tepus Rumput
Sejarah Purbalingga dimulai dari masa kerajaan Pajang pada tahun 1546. Pendiri dan sekaligus yang menjadi raja Pajang pertama adalah Sultan Hadiwijaya yang berkuasa dari tahun 1546 – 1582. Pajang adalah sebuah kerajaan yang berdiri sebagai kelanjutan kerajaan Demak. Saat Sultan Hadiwijaya memerintah, pusat kerajaan dipindah dari Demak ke Pajang, sebuah wilayah di sekitar Surakarta.
Sultan Hadiwijaya bernama asli Mas Karebet adalah putra dari Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga). Karena kesaktian, ketangguhan dan ketampanannya, Mas Karebet kemudian diberi julukan Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru kepada Ki Ageng Sela. Sementara ayahnya, Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga) adalah keturunan dari Ki Ageng Wuking (Andayaningrat) dengan Ratu Pambayun (Putri Raja Brawijaya) dari Majapahit.
Pada masa kerajaan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya (1546-1582), pada masa itu di Pengalasan Kulon (di lereng gunung Slamet sebelah tenggara) terdapat seorang laki-laki bemama Ki Tepus Rumput. Tak seorangpun tahu tentang asal-usul orang tersebut.
Tetapi menurut cerita sementara orang, bahwa ia adalah seorang yang ditempatkan di lereng gunung Slamet, oleh Syehkh Bakir, agar beranak-cucu untuk mengubah hutan Pengalasan Kulon menjadi sebuah pedesaan/pedusunan. Siapa itu Syehkh Bakir, belum ada cerita tentang sosok yang satu ini.
Namun sayang sebelum mempunyai keturunan, isteri Ki Tepus Rumput meninggal dunia. Akibat kematian isterinya, Ki Tepus Rumput sangatlah terpukul dan menderita. Kehidupan sehari-harinya menjadi murung dan tidak tentram karena selalu teringat isteri yang tercinta. Kian hari tubuhnya semakin kurus kering, wajahnya pucat pasi. Matanya dan pipinya menjadi cekung. Rambut dan janggut yang tak terurus lagi menjadi lebat panjang. Kulit mukanya menjadi kisut, amat lesu dan tampak lebih tua dibanding dengan usia sebenarnya.
Pada suatu malam ia sedang duduk termenung di bawah sebuah pohon jati di téngah hutan. Kedua telapak tangannya menutup erat-erat pada wajahnya untuk menahan rasa sedih. Ia terkejut saat melepaskan kedua tangan dari wajahnya. Di depannya telihat ada sebuah bayangan yang menyerupai manusia berjanggut panjang mengenakan jubah putih.
Ia lebih terkejut lagi ketika sosok bayangan itu bersuara. Sosok bayangan itu memerintahkan agar Ki Tepus Rumput mencari cincin permata Soca Ludira yang terdapat di sekitar tempat itu di bawah pohon jati. Bayangan itu mengaku dirinya bemama Kyai Kantharaga, yang juga adalah eyang (kakek) dari Ki Tepus Rumput sendiri. Pesannya bila cincin ilu telah ditemukan, agar segera diserahkan kepada Sultan Pajang.
Ki Tepus Rumput sempat bingung dan heran. Semula suara bayangan tadi dianggap tidak masuk akal. Karena kebingungan, ia kemudian berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu - batu yang berserakan di sekitar pohon jati . Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi dengan mempergunakan kapur sirih.
Tempat dimana batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal sebagai desa Bata Putih. Setelah lama mencarinya, akhirnya cincin itu berhasil ditemukan. Sesuai pesan Ki Kantharaga, Ki Tepus Rumput segera meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Pajang untuk menyerahkan cincin Soca Ludira yang ia temukan.
Raden Adipati Ore-Ore
Sesampainya di Pajang, Ki Tepus Rumput langsung menghadap Sultan Hadiwijaya menyampaikan cincin hasil temuannya. SultanHadiwijaya sangat terkejut campur haru, saat menerima kembali cincin Soca Ludira dari Ki Tepus Rumput. Memang sejak hilangnya cincin Soca Ludira itu, Baginda Sultan mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yangmenemukan cincin Soca Ludira, bila ia seorang pria akan diberi selir yang tercantik. Sebaliknya bila si penemu wanita, ia akan diberi hadiah istimewa yaitu dijadikan isteri Sultan sendiri.
Namun saat itu tak seorangpun diantara rakyat Pajang yang dapat menemukan kembali cincin tersebut. Adalah Ki Tepus Rumput yang akhirnya berhasil menemukan cincin itu. Ki Tepus Rumput adalah seorang laki-laki yang berasal dari Pengalasan Kulon yang letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan Pajang. Sesuai janji Sultan Hadiwijaya, ia berhak menerima hadiah selir tercantik dari Sultan Pajang.
Selain hadiah itu, Ki Tepus Rumput juga diberi gelar Adipati dan diangkat menjadi pimpinan di wilayah Pengalasan Kulon di lereng gunung Slamet yang saat itu termasuk wilayah kekuasaan Pajang. Ia lalu bergelar Raden Adipati Ore Ore dan berkedudukan di desa Onje. Kini, Onje adalah sebuah kelurahan di kecamatan Mrebet.
Mengingat selir tercantik saat itu sedang mengandung empat bulan anak Sultan Hadiwijaya, maka pemberian hadiah disertai janji. Perjanjian tersebut yakni agar Raden Adipati Ore Ore (Ki Tepus Rumput) jangan dulu menggaulinya sampai anak yang dikandungnya lahir. Setelah Ki Tepus bersedia memenuhi perjanjian tersebut, maka selir tercantik itu kemudian di bawa ke Pengalasan Kulon, tempat Ki Tepus Rumput berdiam. Perjalanan Ki Tepus Rumput dan Selir menuju Pengalasan Kulon mendapat pengawalan dari para prajurit Pajang di bawah pimpinan Puspajaya.
Selain senjata para perajurit itu juga membawa alal-alat pertanian serta bibit tanaman untuk membuka lahan pertanian baru di Pengalasan Kulon. Dalam perjalanan menuju Pengalasan Kulon, di tengah hutan mereka mendapat gangguan dari seorang bekas pengikut Haryo Penangsang, yang menamakan dirinya Jala Sutra atau Putra Jala. Jala Sutra membujuk Puspajaya agar mau menyerahkan puteri (selir) yang dibawanya. Namun Puspajaya patuh pada perintah Sultan Hadiwijaya dan menolak bujukan Jala Sutra.
Karena gagal dengan bujukannya, kemudian Jala Sutra berusaha merampasnya dengan kekerasan. Namun berkat kepatuhan, keberanian dari ketangkasan Puspajaya, akhirnya penghadang itu berhasil disingkirkan. Setelah berhasil mengatasi rintangan, sampailah perjalanan mereka di Pengalasan Kulon dengan selamat. Mereka lalu membuka pemukiman baru untuk tempat tinggal, serta menanam bibit buah-buahan yang dibawanya dari Pajang. Akhimya Pengalasan Kulon berubah menjadi pemukiman baru, menjadi desa baru dengan nama desa Surti.
Konon nama Surti berasal dari perkataan Surputeri yang artinya “lungsuranputeri”, Wallahu A’lam. Mula-mula desa Surti itu berpenduduk sedikit, hanya terdiri dari beberapa orang saja. Belakangan banyak penduduk desa lain yang berdatangan ke sana. Mereka hidup bertani dan selanjutnya menetap di desa yang baru dibuka itu. Dengan demikian keadaan desa Surti itu bertambah ramai serta maju dalam bidang pembangunan di segala bidang kehidupan, berkat kegiatan rakyatnya dengan bantuan perajurit prajurit Pajang.
Raden Hanyokro Kusumo Adipati Onje
Beberapa bulan kemudian setelah bermukim di desa Surti Nyai Ore Ore (bekas selir Sultan Hadiwijaya, yang telah menjadi isteri Adipati Ore Ore), melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi mungil itu lalu dibawa ke Pajang untuk diperlihatkan kepada Sultan Hadiwijaya. Oleh Sultan Hadiwijaya diberi nama Raden Hanyokro Kusumo atau nama panggilan Jimbun Lingga.
Karena belum cukup usia, maka jabatan Adipati sementara masih dipegang oleh Raden Adipati Ore Ore. Sedangkan rumah Kadipaten didirikan di sebelah barat sungai Klawing yang kemudian diberi nama Onje, (Onje sekarang adalah sebuah kelurahan yang termasuk Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga).
Beberapa tahun setelah Raden Hanyokro Kusumo cukup dewasa dan dipandang mampu memegang tampu kepimpinan Kadipaten, Raden Hanyokro Kusumo menerima pelimpahan jabatan Adipati dari Raden Adipati Ore Ore. Ia kemudian bergelar Raden Adipati Hanyakrapati, sebagai seorang pimpinan Kadipaten yang berkedudukan di desa Onje.
Raden Adipati Hanyakrapati menikah dengan puteri Keling dari JawaBarat. Ia juga menikah dengan puteri Adipati Cipaku bemama Rara Pakuwati. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah di rumah Kadipaten Onje. Kehidupan sehari-hari kedua isteri kelihatan rukun. Namun sebenarnya dalam batin mereka masing-masing tersimpan rasa cemburu dan rasa perselisihan.
Dari pemikahannya dengan puteri Keling, Raden Hanyakrapati tidak memiliki seorang putrapun. Sedangkan dengan Rara Pakuwati yang dikenal dengan nama Puteri Medang, Adipati Onje menurunkan dua orang putera dan seorang puteri, yakni: Raden Mangunjaya alias Mangunnegara, Raden Citrakusuma, Rara Banowati.
Oleh masyarakat setempat nama-nama tersebut, Mengunnegara, Citra Kusuma dan Banowati telah diabadikan menjadi nama-nama desa yang sekarang termasuk Kecamatan Mrebet. Rara Banowati menikah dengan seorang Arab bemama Sayid Abdullah, yang diserahi jabatan Penghulu merangkap Imam Mesjid desa Onje.
Sumber Referensi:
1. id.wikipedia.org2. purbalingga.go.id
3. purbalingganews.net
4. seputarpurbalingga.blogspot.com
5. mencarisejarah.blogspot.com
Foto: arifsae.com
Bersambung ...
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق