الأحد، يونيو 21، 2020

Daftar Bupati Purbalingga

DAFTAR BUPATI PURBALINGGA

Foto: Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Purbalingga (medcom.id)

Tahukah Anda, bupati Purbalingga saat ini yakni Dyah Hayuning Pratiwi adalah keturunan dari Kyai Arsantaka?

Ya, ternyata Tiwi, panggilan akrab Dyah Hayuning Pratiwi adalah sosok yang tidak asing di lingkungan pemerintahan kabupaten Purbalingga.  Dia adalah putri sulung dari Triyono Budi Sasongko, bupati Purbalingga periode 2000 – 2010. 

Tiwi merupakan keturunan Arsantaka dari garis ibunya, RR. Ina Ratnawati. Dia putri R. Subagio Wiryo Saputro yang merupakan cucu dari dari Dipokusumo V atau bupati Purbalingga yang ke-7 91983 – 1899). 

Selengkapnya, bupati Purbalingga dari trah Arsantaka yaitu Dipayuda III, Dipokusumo I, Brotosoediro, Dipokusumo II, Dipokusumo III, Dipokusumo IV. Kemudian Dipokusumo V, Dipokusumo VI, dan Aryo Soegondo. Berikutnya adalah Dyah Hayuning Pratiwi, bupati Purbalingga sekarang.

Foto: Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Purbalingga (beritabalap.com)

Profil Dyah Hayuning Pratiwi

Dyah Hayuning Prawiti, bupati Purbalingga saat ini adalah bupati perempuan pertama dalam sejarah Purbalingga. Usianya masih tergolong muda, lahir di Jakarta pada 11 April 1987. Setelah lulus SMAN 8 Jakarta, ia melanjutkan pendidikan sarjana Ilmu Ekonomi Kelas Internasional, Universitas Indonesia. Setelah lulus tahun 2010, Tiwi, demikian bupati Purbalingga ini biasa dipanggil, mendapat gelar Bachelor of econommics with Major In International trade and Finance, The University of Quensland, Australia.

Pada 17 Desember 2015, KPU Purbalingga mengumumkan bahwa pasangan Tasdi-Tiwi yang diusung PDIP, Gerindra, PAN, PKS dan Nasdem memenangkan Pilkada. Pasangan Tasdi-Tiwi meraih 228.037 suara (54,51%) sementara lawannya pasangan Sugeng-Sutjipto meraih 190.276 suara (45,49%).

Pada 17 Februari 2016, Pasangan Tasdi-Tiwi dilantik oleh Gubernur Ganjar Pranowo, di Semarang sebagai Bupati-Wakil Bupati Purbalingga. Pada 4 Juni 2018 bupati Tasdi ditangkap KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Plt. Gubernur Jawa Tengah, Heru Sudjatmoko pada 8 Juni 2018 melantik Dyah Hayuning Pratiwi sebagai Plt Bupati Purbalingga. 

Pada 6 Februari 2019, sidang Tipikor (Tindak Pidana Korupsi), menjatuhkan vonis 7 tahun penjara untuk mantan bupati Purbalingga, Tasdi. Setelah ada putusan hukum yang tetap tersebut, kemudian Tiwi dilantik sebagai Bupati Purbalingga oleh gubernur Jawa Tengah ganjar Pranowo  pada 12 April 2019. 

Berikut adalah daftar bupati Purbalingga selengkapnya.

Masa Kolonial Belanda (Sebelum Merdeka)
1. Raden Tumenggung Dipoyudo III (Tahun 1759 – 1787)
2. Raden Tumenggung Dipokusumo I (Tahun 1792 – 1811)
3. Raden Mas Tumenggung Brotosudiro (Tahun  1811 – 1831)
4. Raden Mas Tumenggung Adipati Dipokusumo II (Tahun 1831 – 1855)
5. Raden Adipati Dipokusumo III (Tahun 1855 – 1868)
6. Raden Adipati Dipokusumo IV (Tahun 1868 – 1883)
7. Raden Tumenggung Dipokusumo V (Tahun 1883 – 1893)
8. Raden Brotodimedjo (Tahun 1893 – 1899)
9. Raden Tumenggung Adipati Dipokusumo VI (Tahun 1899 – 1925)
10. K.R.A.A. Soegondo (Tahun 1925 – 1946)

Masa Pemerintahan Indonesia (Setelah Merdeka)
11. Mas Soeyoto (Tahun 1946 – 1947)
12. Raden Mas Kartono (Tahun 1947 – 1950)
13. Raden Oetoyo Koesoemo (Tahun 1950 – 1954)
14. Raden Hadisoekmo (Tahun 1954 – 1960)
15. Raden Mohammad Soedjadi (Tahun 1960 – 1967)
16. Raden Bambang Moerdharmo, SH. (Tahun 1967 – 1973)
17. Letkol Goentoer Daryono (Tahun 1973 – 1979)
18. Dr. Soetarno (Tahun 1079 – 1984)
19. Drs. Soekirman (Tahun 1984 – 1989)
20. Drs. Soelarno (Tahun 1989 – 1999)
21. Triyono Budi Sasongko (Tahun 2000 – 2010) 
22. Drs. Heru Sudjatmoko, M.Si. (Tahun 2010 – 2013)
23. Drs. Sukento Ridho Marhaendrianto, M.Si. (Tahun 2013 – 2015)
24. Budi Wibowo, Penjabat (Tahun 2015 – 2016)
25. Tasdi, SH., MM. (Tahun 2016 –  2018)
26. Dyah Hayuning Pratiwi (Tahun 2018 - .......)

Demikian daftar bupati Purbalingga mulai dari bupati pertama, Raden Tumenggung Dipoyudo III (Ki Arsayuda, putra Ki Arsantaka) hingga bupati saat ini, Dyah Hayuning Prawiti. Semoga bermanfaat.  

Sumber Referensi:
1. id.wikipedia.org
2. liputan6.com
3. bupati.purbalingga.go.id
4. suaramerdeka.com

Foto: beritabalap.com

Sejarah Purbalingga 2: Ki Arsantaka, Leluhur Bupati Purbalingga

Sejarah Purbalingga 2: Ki Arsantaka, Leluhur Bupati Purbalingga

Foto: Makam Ki Arsantaka (Dok. id.foursquare)

Belum ada dokumen yang menceritakan tentang wafatnya kedua istri dari Raden Hanyokrokusuma. Namun di sebuah blog seputarpurbalingga.blogspot.com diceritakan bahwa setelah lama membujang, Raden Hanyakrakusuma kemudian kawin lagi dengan seorang puteri dari Arenan. Konon Arenan ini berasal dari kata Aren dan tempat itu ada di sekitar Kaligondang sekarang. Bila dilihat dari segi usia, perkawinan antara Adipati Onje dengan puteri Arenan ini sebenarnya tidak seimbang.

Dari perkawinan ini, Raden Hanyakrakusuma menurunkan Kiai Yudantaka dan Kiai Arsantaka. Kiai Yudantaka mempunyai kegemaran bertani. Ketika wafat jenazahnya dimakamkan di desa Kedungwringin termasuk Kecamatan Kalimanah, Purbalingga.

Sebaliknya Kiai Arsantaka, karena tidak cocok dengan saudara-saudaranya (Putera-puteri Adipati Onje dari isteri terdahulu) terpaksa meninggalkan Onje dan berkelana ke timur. Di desa Masaran, kini kecamatan Bawang, Banjarnegara. Di sana ia kemudian diambil anak angkat oleh Kyai Rindik atau  Ki Wanakusuma yang masih keturunan dari Ki Ageng Giring dari Mataram.

Pada tahun 1740-1760 Ki Asantaka diangkat menjadi demang Pagendolan yang sekarang termasuk desa Masaran. Ia mempunyai dua isteri. Masing-masing Nyai Merden (keturunan Raden Wargautama II), Bupati Banyumas) dan Nyai Kedunglumbu.

Dalam perkawinannya dengan Nyai Merden, ia menurunkan:
1.      Kiai Arsamenggala,
2.      Kiai Dipayuda Gabug,
3.      Kiai Arsayuda yag kemudian bergelar Tumenggung Dipayuda III, Bupati pertama Purbalingga,
4.      Kiai Ranumenggala, Demang Pasiraman,
5.      Nyai Pancaprana

Sedang dengan Nyai Kedunglumbu hanya menurunkan seorang putera yaitu, Mas Candiwijaya Patih Purbalingga.

Waktu itu desa-desa Purbalingga dan Banjarnegara belum mempunyai Adipati. Kademangan Pagendolan masih di bawah pemerintahan Karanglewas (sekarang termasuk Kecamatan Kutasari, Purbalingga). Ngabehi Karanglewas waktu itu adalah Tumenggung Dipayuda I yang mempunyai atasan lagi yaitu Adipati Banyumas Yudanegara III, tahun 1730-1749. Tumenggung Yudanegara III adalah kakak dari Ngabehi Karanglewas, sama-sama putera Yudanegara II yang menjadi Adipati Banyumas tahun 1710-1728.

Tahun 1749 pecah perang Mnagkubumen. Karena perang terjadi di desa Jenar, sebelah barat sungai Bogowonto, maka dikenal juga dengan nama perang Jenar. Perang Mangkubumen adalah peperangan antara Pangeran Mangkubumi dengan kakaknya Paku Buwono II. Perang itu terjadi dikarenakan Pangeran Mangkubumi merasa tidak puas dengan sikap kakaknya yang dianggapnya lemah terhadap penjajah Belanda.

Ada versi lain bahwa penyebab peperangan tersebut adalah karena Paku Buwono II ingkar janji terhadap adiknya Pangeran Mangkubumi. Pangeran Paku Buwono II pernah berjanji akan memberikan sebidang tanah jika Pangeran Mangkubumi berhasil menundukkan Mas Said. Namun janji itu tidak ditepati sehingga menimbulkan perselisihan antara Pangeran Paku Buwono II di satu pihak dengan Pangeran Mangkubumi dan Mas Said di lain pihak. Dalam peperangan tersebut Belanda juga ikut campur dan berada di pihak Pangeran Paku Buwono II.  

Saat itu pasukan Banyumas dipimpin Raden Tumenggung Yudanegara III sebagai panglima perang. Sedangkan Tumenggung Dipayuda I dan Kiai Arsantaka merupakan komandan-komandan kesatuan bawahnya. Adipati Banyumas Raden Tumenggung Yudanegara III dan prajuritnya berada di pihak Paku Buwono II.

Ketika perang Mangkubumen mulai berkobar tahun 1749 Sunan Pakubuwana II wafat. Sebelum wafat, Paku Buwono II sempat menitipkan kerajaan Mataram kepada kompeni Belanda. Kemudian kompeni mengangkat putera Sunan Pakubuwana II menjadi Raja Mataram dengan gelar Sunan Pakubuwana III, atau Kanjeng Sunan Pakubuwana Senapati Nglaga Ngabdoerahman Sajidin panatagama Tata Pandita Rasaning Boemi, pada hari Senen Pagi bulan sura, Alip 1675 tahun jawa.

Dalam perang Mangkubumen yang terjadi di sebelah barat sungai Bogowonto tersebut, pasukan Adipati Banyumas Tumenggung Yudanegara III (Adipati Banyumas) yang dibantu oleh Dipayuda I, yaitu Ngabehi Karanglewas dan Ki Arsantaka berada di pihak Pakubuwono II. 

Sementara itu pasukan Mangkubumen dalam menghadapi lawan, telah menggunakan taktik perang gerilya. Dengan demikian mereka berhasil menjebak serta membinasakan Pakubuwana III dan kompeni yang berjumlah besar. Majoor de Clerx, Kapten Hoetje dan Dipayuda 1 pada tagga 12 Desember 1751 (Minggu legi 22 Sura Jumawal 1677 Jawa) tewas dalam pertempuran itu. Jenazah Dipayuda 1 hilang. Sedangkan 40 orang serdadu Belanda (Kompeni) yang bersembunyi di desa Ganggeng ditawan. Pangeran Kabanaran beristirahat (mesanggrah) di Cengkawak.

Melihat kenyataan ini pembesar-pembesar VOC menjadai cemas. Mereka segera membujuk Pangeran Mangkubumi agar mau berdamai. Bujukan itu ternyata berhasil, tahun 1755 ditandatangani perjanjian Gianti yag isinya: Kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, Mataram Barat diserahkan kepada Pangeran Mangkibumi dan Mataram Timur tetap dikuasai Sunan Pakubuwana III.

Kemudian Pangeran Mangkubumi bertahta menjadi raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I. Sebagai patihnya diangkat Raden Tumenggung Yudanegara III, yang bergelar Kanjeng Raden Adipati Danureja I. pengangkatan ini sbenarnya bersifat politis, karena meskipun Tumenggung Yudanegara III semula dianggap sebagai lawan, namun ia mempunyaipengaruh sangat besar dikalangan masyarakat, khusunya masyarakat Banyumas. Kerajaan Mataram barat disebut Ngayogyakarta Hadiningrat yang sekarang lebih dikenal dengan nama Jogjakarta.

Mas Said masih terus melanjutkan perlawanan, tahun 1757 ia terpaksa mengadakan perdamaian. Dalam perjanjian Salatiga ditetapkan, bahwa Mataram timur (Surakarta) dipecah menjadi dua, sebagian tetap menjadi kekuasaan Sunan Pkaubuwana III, sebagian lagi diserahkan kepada Mas Said.
Mas Said kemudian bergelar Mangkunegara, dan daerahnya disebut Mangkunegaran.
Heroisme Ki Arsantaka ketika terjadi perang jenar 

Dalam pertempuran tersebut Raden Tumenggung Dipoyudo I gugur, jenazahnya hilang. Namun berkat ketekunan dan keberanian Ki Arsantaka jenazah tersebut berhasil ditemukan kembali di desa Jenar, kemudian dimakamkan di “Astana Redi Bendungan” desa Dawuhan, Banyumas. Selanjutnya dikenal degan sebutan Ngabehi Seda Jenar.

Kedudukan Raden Tumenggung Dipayuda I digantikan putera dari Tumenggung Yudanegara III dengan gelar Tumenggung Dipayuda II. Sebagai rasa terima kasih, Raden Tumenggung Yudanegara III mengambil menantu putera Kiai Arsantaka yaitu Kiai Arsayuda. Bahkan Kiai Arsayuda diangkat menjadi Patih Karanglewas mendampingi Raden Dipayuda II.

Setelah menjabat Ngabehi Karanglewas ternyata Raden Tumenggung Dipayuda II sakit-sakitan. Ia tidak lama menjabat sebagai Ngabehi Karanglewas yakni hanya tiga tahun, dari tahun 1755-1758. Ia disebut pula Nagabehi Seda Benda. Kemudian jabatannya dilimpahkan kepada Ki Arsayuda yang kemudian bergelar Raden Tumenggung Dipayuda III.

Maka sampai disinilah keturunan dari Adipati Banyumas dan dimulainya keturunan Ki Arsantaka sebagai cikal bakal bupati purbalingga selanjutnya sekaligus berdirinya Kabupaten Purbalingga.
Sementara pada akhir hayatnya, Ki Arsantaka dan Nyai Merden dimakamkan di desa Masaran. Namun atas pertimbangan ahli warisnya,  kedua makam itu dipindah ke makam Pakuncen Purbalingga Lor yang sampai sekarang dikenal dengan nama Makam Arsantaka.
Raden Tumenggung Dipayuda III, Bupati Purbalingga I 

Di masa pemerintahan Ki Arsayuda (1728), ayahnya yaitu Arsantaka sebagai penasehat memberi saran agar pusat pemerintahan dipindahkan dari Karanglewas ke desa Purbalingga. Perpindahan pusat pemerintahan kemudian diikuti dengan pembangunan rumah, pendopo, kantor pemerintahan dan alun-alun pada tahun 1759. Dari situlah Tumenggung Dipayuda III kemudian dalam sejarah tercatat sebagai Bupati Purbalingga I. 

Sejarah Purbalingga setidaknya tercatat dalam empat kitab babad yaitu kitab Babad Onje, Babat Purbalingga, Babad Banyumas dan Babad Jambukarang. Selain itu sejarah Purbalingga juga terdapat pada arsip-arsip peninggalan Hindia Belanda yang tersimpan dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia. 

Berdasarkan sumber-sumber tersebut, maka pemerintahan kabupaten Purbalingga menetapkan  tanggal 18 Desember 1830 atau 3 Rajab 1246 Hijriah atau 3 Rajab 1758 Je. Penetapan itu tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 15 tahun 1996. Dengan demikian, tanggal 18 Desember adalah hari jadi kota kabupaten Purbalingga.

Sumber Referensi:
1. id.wikipedia.org
2. purbalingga.go.id
3. purbalingganews.net
4. seputarpurbalingga.blogspot.com
5. mencarisejarah.blogspot.com

Foto: id.foursquare.com

Sejarah Purbalingga 1: Ki Tepus Rumput

Sejarah Purbalingga: Ki Tepus Rumput

Foto: Makam Medang (Dok. arifsae.com)

Sejarah Purbalingga dimulai dari masa kerajaan Pajang pada tahun 1546. Pendiri dan sekaligus yang menjadi raja Pajang pertama adalah Sultan Hadiwijaya yang berkuasa dari tahun 1546 – 1582. Pajang adalah sebuah kerajaan yang berdiri sebagai kelanjutan kerajaan Demak.  Saat Sultan Hadiwijaya memerintah, pusat kerajaan dipindah dari Demak ke Pajang, sebuah wilayah di sekitar Surakarta.  

Sultan Hadiwijaya bernama asli Mas Karebet adalah putra dari Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga). Karena kesaktian, ketangguhan dan ketampanannya, Mas Karebet kemudian diberi julukan Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru kepada Ki Ageng Sela. Sementara ayahnya, Ki Ageng Pengging (Kebo Kenanga) adalah keturunan dari Ki Ageng Wuking (Andayaningrat) dengan Ratu Pambayun (Putri Raja Brawijaya) dari Majapahit. 

Pada masa kerajaan Pajang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya (1546-1582), pada masa itu di Pengalasan Kulon (di lereng gunung Slamet sebelah tenggara) terdapat seorang laki-laki bemama Ki Tepus Rumput. Tak seorangpun tahu tentang asal-usul orang tersebut. 

Tetapi menurut cerita sementara orang, bahwa ia adalah seorang yang ditempatkan di lereng gunung Slamet, oleh Syehkh Bakir, agar beranak-cucu untuk mengubah hutan Pengalasan Kulon menjadi sebuah pedesaan/pedusunan. Siapa itu Syehkh Bakir, belum ada cerita tentang sosok yang satu ini. 

Namun sayang sebelum mempunyai keturunan, isteri Ki Tepus Rumput meninggal dunia. Akibat kematian isterinya, Ki Tepus Rumput sangatlah terpukul dan menderita. Kehidupan sehari-harinya menjadi murung dan tidak tentram karena selalu teringat isteri yang tercinta. Kian hari tubuhnya semakin kurus kering, wajahnya pucat pasi. Matanya dan pipinya menjadi cekung. Rambut dan janggut yang tak terurus lagi menjadi lebat panjang. Kulit mukanya menjadi kisut, amat lesu dan tampak lebih tua dibanding dengan usia sebenarnya.

Pada suatu malam ia sedang duduk termenung di bawah sebuah pohon jati di téngah hutan. Kedua telapak tangannya menutup erat-erat pada wajahnya untuk menahan rasa sedih. Ia terkejut saat melepaskan kedua tangan dari wajahnya. Di depannya telihat ada sebuah bayangan yang menyerupai manusia berjanggut panjang mengenakan jubah putih. 

Ia lebih   terkejut lagi ketika sosok bayangan itu bersuara. Sosok bayangan itu memerintahkan agar Ki Tepus Rumput mencari cincin permata Soca Ludira yang terdapat di sekitar tempat itu di bawah pohon jati. Bayangan itu mengaku dirinya bemama Kyai Kantharaga, yang juga adalah eyang (kakek) dari Ki Tepus Rumput sendiri. Pesannya bila cincin ilu telah ditemukan, agar segera diserahkan  kepada Sultan Pajang.

Ki Tepus Rumput sempat bingung dan heran. Semula suara bayangan tadi dianggap tidak masuk akal. Karena kebingungan, ia kemudian berjalan mondar-mandir sambil mengumpulkan batu - batu yang berserakan di sekitar pohon jati . Tumpukan batu paling atas lalu digambari wajah bayangan tadi dengan mempergunakan kapur sirih. 

Tempat dimana batu itu dikumpulkan, sampai sekarang dikenal sebagai desa Bata Putih. Setelah lama mencarinya, akhirnya cincin itu berhasil ditemukan. Sesuai pesan Ki Kantharaga, Ki Tepus Rumput segera meninggalkan tempat itu untuk pergi ke Pajang untuk menyerahkan cincin Soca Ludira yang ia temukan.

Raden Adipati Ore-Ore

Sesampainya di Pajang, Ki Tepus Rumput langsung menghadap Sultan Hadiwijaya menyampaikan cincin hasil temuannya. SultanHadiwijaya sangat terkejut campur haru, saat menerima kembali cincin Soca Ludira dari Ki Tepus Rumput. Memang sejak hilangnya cincin Soca Ludira itu, Baginda Sultan mengadakan sayembara. Bagi siapa saja yangmenemukan cincin Soca Ludira, bila ia seorang pria akan diberi selir yang tercantik. Sebaliknya bila si penemu wanita, ia akan diberi hadiah istimewa yaitu dijadikan isteri Sultan sendiri.

Namun saat itu tak seorangpun diantara rakyat Pajang yang dapat menemukan kembali cincin tersebut. Adalah Ki Tepus Rumput yang akhirnya berhasil menemukan cincin itu.  Ki Tepus Rumput adalah seorang laki-laki yang berasal dari Pengalasan Kulon yang letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan Pajang. Sesuai janji Sultan Hadiwijaya, ia berhak menerima hadiah selir tercantik dari Sultan Pajang.

Selain hadiah itu, Ki Tepus Rumput juga diberi gelar Adipati dan diangkat menjadi pimpinan di wilayah Pengalasan Kulon di lereng gunung Slamet yang saat itu termasuk wilayah kekuasaan Pajang. Ia lalu bergelar Raden Adipati Ore Ore dan berkedudukan di desa Onje. Kini, Onje adalah sebuah kelurahan di kecamatan Mrebet.

Mengingat selir tercantik saat itu sedang mengandung empat bulan anak Sultan Hadiwijaya, maka pemberian hadiah disertai janji. Perjanjian tersebut yakni agar Raden Adipati Ore Ore (Ki Tepus Rumput) jangan dulu menggaulinya sampai anak yang dikandungnya lahir. Setelah Ki Tepus bersedia memenuhi perjanjian tersebut, maka selir tercantik itu kemudian di bawa ke Pengalasan Kulon, tempat Ki Tepus Rumput berdiam. Perjalanan Ki Tepus Rumput dan Selir menuju Pengalasan Kulon mendapat pengawalan dari para prajurit Pajang di bawah pimpinan Puspajaya. 

Selain senjata para perajurit itu juga membawa alal-alat pertanian serta bibit tanaman untuk membuka lahan pertanian baru di Pengalasan Kulon. Dalam perjalanan menuju Pengalasan Kulon, di tengah hutan mereka mendapat gangguan dari seorang bekas pengikut  Haryo Penangsang, yang menamakan dirinya Jala Sutra atau Putra Jala. Jala Sutra membujuk Puspajaya agar mau menyerahkan puteri (selir) yang dibawanya.  Namun Puspajaya patuh pada perintah Sultan Hadiwijaya dan menolak bujukan Jala Sutra. 

Karena gagal dengan bujukannya, kemudian Jala Sutra berusaha merampasnya dengan kekerasan. Namun berkat kepatuhan, keberanian dari ketangkasan Puspajaya, akhirnya penghadang itu berhasil disingkirkan. Setelah berhasil mengatasi rintangan, sampailah perjalanan mereka di Pengalasan Kulon dengan selamat. Mereka lalu membuka pemukiman baru untuk tempat tinggal, serta menanam bibit buah-buahan yang dibawanya dari Pajang. Akhimya Pengalasan Kulon berubah  menjadi pemukiman baru, menjadi desa baru dengan nama desa Surti.

Konon nama Surti berasal dari perkataan Surputeri yang artinya “lungsuranputeri”, Wallahu A’lam. Mula-mula desa Surti itu berpenduduk sedikit, hanya terdiri dari beberapa orang saja. Belakangan banyak penduduk desa lain yang berdatangan ke sana. Mereka hidup bertani dan selanjutnya menetap di desa yang baru dibuka itu. Dengan demikian keadaan desa Surti itu bertambah ramai serta maju dalam bidang pembangunan di segala bidang kehidupan, berkat kegiatan rakyatnya dengan bantuan perajurit prajurit Pajang.

Raden Hanyokro Kusumo Adipati Onje

Beberapa bulan kemudian setelah bermukim di desa Surti Nyai Ore Ore (bekas selir Sultan Hadiwijaya, yang telah menjadi isteri Adipati Ore Ore), melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi mungil itu lalu dibawa ke Pajang untuk diperlihatkan kepada Sultan Hadiwijaya. Oleh Sultan Hadiwijaya diberi nama Raden Hanyokro Kusumo atau nama panggilan Jimbun Lingga. 

Karena belum cukup usia, maka jabatan Adipati sementara masih dipegang oleh Raden Adipati Ore Ore. Sedangkan rumah Kadipaten didirikan di sebelah barat sungai Klawing yang kemudian diberi nama Onje, (Onje sekarang adalah sebuah kelurahan yang termasuk Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga).

Beberapa tahun setelah Raden Hanyokro Kusumo cukup dewasa dan dipandang mampu memegang tampu kepimpinan Kadipaten, Raden Hanyokro Kusumo menerima pelimpahan jabatan Adipati dari Raden Adipati Ore Ore. Ia kemudian bergelar Raden Adipati Hanyakrapati, sebagai seorang pimpinan Kadipaten yang berkedudukan di desa Onje.

Raden Adipati Hanyakrapati menikah dengan puteri Keling dari JawaBarat. Ia juga menikah dengan puteri Adipati Cipaku bemama Rara Pakuwati. Kedua orang isteri itu tinggal bersama serumah di rumah Kadipaten Onje. Kehidupan sehari-hari kedua isteri kelihatan rukun. Namun sebenarnya dalam batin mereka masing-masing tersimpan rasa cemburu dan rasa perselisihan.

Dari pemikahannya dengan puteri Keling,  Raden Hanyakrapati tidak memiliki seorang putrapun. Sedangkan dengan Rara Pakuwati yang dikenal dengan nama Puteri Medang, Adipati Onje menurunkan dua orang putera dan seorang puteri, yakni: Raden Mangunjaya alias Mangunnegara, Raden Citrakusuma, Rara Banowati.

Oleh masyarakat setempat nama-nama tersebut, Mengunnegara, Citra Kusuma dan Banowati telah diabadikan menjadi nama-nama desa yang sekarang termasuk Kecamatan Mrebet. Rara Banowati menikah dengan seorang Arab bemama Sayid Abdullah, yang diserahi jabatan Penghulu merangkap Imam Mesjid desa Onje.

Sumber Referensi:
1. id.wikipedia.org
2. purbalingga.go.id
3. purbalingganews.net
4. seputarpurbalingga.blogspot.com
5. mencarisejarah.blogspot.com

Foto: arifsae.com

Bersambung ...

Kabupaten Purbalingga

Kabupaten Purbalingga

Foto: Alun-alun Purbalingga (Dok. Pribadi)

Purbalingga adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Tengah. Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan kabupaten Pemalang di sebelah utara, kabupaten Banjarnegara di sebelah timur dan selatan, serta kabupaten Banyumas di sebelah barat dan selatan. Kabupaten Purbalingga adalah salah satu kabupaten di wilayah eks karesidenan Banyumas selain kabupaten Banjarnegara, kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.

Secara geografis, wilayah kabupaten Purbalingga berada di antara 101° 11" BT – 109° 35" BT. Dataran Purbalingga berada di kisaran 40 – 1500 di atas permukaan laut. Wilayah kabupaten ini berada di cekungan rangkaian pegunungan Slamet dan dataran tinggi Dieng di sebelah utara. Sementara di bagian selatan merupakan depresi Serayu yang dialiri dua sungai besar yakni kali Serayu dan anak sungainya kali Pekacangan. Beberapa anak sungai lainnya antara lain kali Klawing dan kali Gintung.

Saat ini kabupaten Purbalingga terdiri dari 18 kecamatan, yang terdiri atas 224 desa dan 15 keluaran. Ke-18 kecamatan itu adalah Purbalingga, Kalimanah, Kaligondang, Karangreja, Karanganyar, Kutasari, Mrebet, Bobotsari, Rembang, karangmoncol, Kejobong, Bukateja, Kemangkon, Padamara, Pengadegan, Bojongsari, Karangjambu dan Kertanegara.   

Kabupaten ini beribu kota Purbalingga. Seperti di kabupaten lain pada umumnya, hampir selalu ada yang namanya alun-alun. Biasanya alun-alun ini letaknya di depan kantor Bupati. Dan pada umumnya pula, di setiap alun-alun biasanya ada pohon beringin. Sayang, pohon beringin raksasa kembar di alun-alun kota Purbalingga ini roboh diterjang angin puting beliung pada 25 Oktober 2016.  

Foto: Pendopo Kabupaten Purbalingga (Dok. Pribadi)

Purbalingga kini punya beberapa tempat wisata mulai dari Gua Lawa, Objek Wisata Air Bojongsari (Owabong) dan wisata agro kebun strawbery dengan panorama Gunung Lompong di Pratin Serang Karangreja.  Kemudian desa wisata Karangbanjar, Purbasari Pancuran Mas, Situ Tirta Marta (Sitama) di Karangcegak Kutasari, Monumen Jendral Soedirman di Bantarbarang, Rembang, Sanggaluri Park di Kutasari, Museum dan Perpustakaan Umum Poerbakawatja, Bumi Perkemahan dan wahana Outbond Munjul Luhur Karangbanjar Kalimanah, kolam pemandian Walik Tirto Asri, Curug Nini, Curug Silintang dan silawang, curug Ciputut dan curug Sumba.

Satu lagi yang tentu sudah sangat familier bagi warga Kembangan adalah Congot. Suatu tempat wisata eksotik yang merupakan pertemuan dua buah sungai besar, kali Serayu dan kali Klawing. Objek wisata Congot ini terletak di desa Kedungbenda kecamatan Kemangkon, sekitar 15 km arah selatan darn kota Purbalingga. Kalau dari desa Kembangan kira-kira, mungkin 8-10 km ke arah barat. (mohon dikoreksi karena penulis belum pernah ke Congot).

Bersambung ....

Sumber Referensi:
1. id.wikipedia.org
2. purbalingga.go.id
3. purbalingganews.net
4. seputarpurbalingga.blogspot.com
5. mencarisejarah.blogspot.com

Foto: Dokumen Pribadi


الجمعة، مايو 22، 2020

Patuhi Pemerintah, Jangan Mudik


Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Saat-saat seperti ini biasanya para perantau sedang bersiap-siap untuk melakukan mudik. Sebagai sebuah fenomena tahunan, mudik memang sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Hari Raya Idul Fitri adalah momen bagi para perantau untuk mudik. Berkumpul dengan keluarga di kampung halaman adalah puncak kebahagiaan bagi para perantau. Tak heran jika setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri jutaan perantau berbondong-bondong mudik ke kampung halaman.

Namun tahun ini kondisi dan situasinya berbeda. Wabah pandemi virus korona atau coronavirus memaksa semua orang harus bersabar untuk tidak mudik tahun ini. Pemerintah secara resmi telah melarang mudik tahun ini. Larangan mudik dituangkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama  Mudik Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Larangan mudik tersebut berlaku mulai tanggal 24 April hingga 31 Mei 2020.

Mungkin ini  keputusan pemerintah yang tidak populer bagi sebagian masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang sudah punya rencana untuk melakukan mudik. Terlebih bagi para  perantau yang memang selalu mudik saat Idul Fitri tiba. Namun pemerintah harus mengambil keputusan ini untuk mencegah penyebaran coronavirus agar tidak semakin meluas.

Menurut situs alodokter, virus corona atau yang dalam bahasa kedokteran disebut sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

Sementara menurut WHO dalam situsnya menjelaskan bahwa coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). 

Coronavirus jenis baru ini pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Dirangkum dari Telegraph, penyebaran coronavirus ke seluruh dunia diyakini berasal dari “pasar basah” di Wuhan, China yang menjual hewan hidup dan mati, termasuk ikan dan burung. Namun tidak ada kelelawar di pasar itu, di mana hewan itu ditengarai sebagai inang dari coronavirus. Para peneliti kemudian menduga bahwa coronavirus yang berasal dari kelelawar menular ke hewan lain, mungkin trenggiling dan kemudian baru menular ke manusia.

Setelah China, beberapa negara kemudian mengkonfirmasi kalau coronavirus telah menginfeksi warganya. Bulan Januari 2020 tercatat ada sembilan negara yang mengonfirmasi kasus positif. Kesembilan negara itu adalah Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Nepal, Thailand, kanada, Australia, Kamboja dan Srilanka. Globalisasi membuat penyebaran coronavirus ini begitu cepat dan masif. Hingga bulan Mei 2020, virus korona sudah menyerang hampir semua negara di dunia. Tercatat lebih dari 210 negara telah mengonfirmasi kasus positif covid-19, termasuk Indonesia  yang mengonfirmasi kasus pertamanya pada 2 Maret 2020. 

Virus korona menyebar antara manusia ke manusia melalui tetesan cairan dari mulut dan hidung atau droplet dari  orang yang terinfeksi. Percikan-percikan dari hidung dan mulut orang yang terinfeksi tersebut bisa jatuh dan tertinggal pada benda-benda yang ada di dekatnya. Jika benda-benda tersebut disentuh oleh orang lain, maka kemungkinan orang yang menyentuh benda tersebut akan terinfeksi. Penularan covid-19 juga bisa terjadi jika menghirup percikan yang keluar dari batuk atau napas orang yang terjangkit covid-19. Itu sebabnya penting untuk menjaga jarak minimal satu setengah meter.  

Menurut hasil sebuah penelitian studi terbaru menyatakan bahwa protein yang terkandung dalam virus corona SARS-CoV-2 memiliki bagian khusus (ridge) yang lebih padat. Hal itu membuat virus corona SARS-CoV-2 lebih mudah menempel pada sel manusia dibanding virus corona jenis lainnya. Saat virus mudah menempel ke sel manusia, ini memungkinkan virus corona SARS-CoV-2 memiliki kemampuan menginfeksi dengan lebih baik dan mampu menyebar lebih cepat.

Maka bisa dibayangkan jika jutaan pemudik dari Jabodetabek yang notabene sebagai zona merah Covid-19 berbondong-bondong ke daerah. Mungkin saja para pemudik itu dalam keadaan sehat saat melakukan perjalanan mudik. Namun bukan tak mungkin di perjalanan mereka akan terinfeksi. Bisa saja mereka akan terinfeksi di kendaraan umum, di kereta, di terminal, di stasiun atau di rest area. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa orang yang terinfeksi covid-19 tidak selalu menimbulkan gejala. Tidak demam dan tidak merasa sakit namun sebenarnya orang itu membawa virus covid-19. Orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai carrier atau pembawa virus yang bisa menularkan ke orang lain.

Sebuah penelitian yang dilakukan Imperial College London dan Lancaster University menyimpulkan bahwa setiap orang yang terinfeksi coronavirus bisa menularkan penyakitnya terhadap rata-rata antara dua sampai tiga orang. Maka bisa dibayangkan jika  ada 10 juta pemudik dan 500 orang yang membawa virus, maka berapa orang yang akan tertulari? Potensi penularan mungkin saja akan terjadi di perjalanan, di kendaraan umum, di kereta api, di terminal, di stasiun di rest area dan di toilet-toilet umum.

Kemudian para pemudik yang membawa covid-19 atau yang sudah tertulari bertemu dengan keluarga di kampung, maka mereka berpotensi akan menularkannya ke keluarga mereka. Orangtua, anak, istri, saudara, kerabat dan handai tolan akan mendapat “oleh-oleh” virus covid-19. Ini bukan “oleh-oleh” yang menyenangkan, namun sebaliknya menyengsarakan bahkan mematikan.  

Jika hal itu sampai terjadi, maka sulit membayangkan bagaimana jadinya. Kalau banyak warga yang terinfeksi virus korona, sementara jumlah rumah sakit di daerah itu terbatas. Begitu juga dengan jumlah tenaga medis dan paramedis. Bukan tak mungkin rumah sakit di daerah akan kewalahan menampung dan menangani pasien yang membludak.   

Itulah yang dengan sekuat tenaga dicegah oleh pemerintah dengan mengeluarkan larangan mudik. Pelarangan mudik itu bertujuan untuk keselamatan para perantau dan keluarganya serta masyarakat pada umumnya.  Namun larangan itu menjadi sia-sia jika para perantau tidak peduli dan tidak mau mematuhinya.  


Mengingat betapa bahayanya coronavirus dan dampak yang ditimbulkannya, maka pilihan paling bijak bagi para perantau adalah mematuhi pemerintah untuk tidak mudik. Dengan tidak mudik, mereka telah menjaga keselamatan diri sendiri, keluarga yang mereka cintai dan juga orang lain. Lebih dari itu, mereka telah berjuang untuk menyelamatkan bangsa dan negeri ini dari wabah pandemi covid-19 yang sangat berbahaya dan mengerikan.

Sudah dimuat di Kompasiana, 18 Mei 2020
Referensi: Berbagai sumber
Foto: Koran Tempo

الخميس، مايو 07، 2020

Selamat Jalan Saudaraku, Surbani



Bulan Mei 1990, saya saat itu adalah seorang pemuda luntang-lantung. Setelah lulus SMA tahun 1986, saya sempat mencicipi Program PTUP Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto. Merasa belum siap dengan program perkuliahan di program itu, saya mundur. Menunggu Sipenmaru tahun berikutnya, 1987. Saya mendaftar di Fakultas Biologi di universitas yang sama. Alhamdulillah diterima. Namun saya hanya bertahan tiga semester menyandang status sebagai mahasiswa. Saya nggak tega lihat orang tua memaksakan diri untuk membiayai kuliah saya. Sementara adik-adik saya banyak dan mereka lebih membutuhkan biaya. Maka sejak saat itu, status saya berubah, dari seorang mahasiswa menjadi seorang pemuda luntang-lantung alias pengangguran.

Setelah kurang lebih dua tahun menjadi pengangguran, sekitar bulan Mei 1990, saudara sepupu yang pulang dari Jakarta datang ke rumah. Dia adalah Surbani atau biasa dipanggil Reban. Dia anak dari wa saya, anak kakak dari ibu saya. Saat itu dia sudah lama merantau di Jakarta, mungkin sudah lima tahun lebih. Orangnya baik, ramah dan suka menolong orang lain, terlebih saudara-saudaranya.

“Bad, mau nggak ke Jakarta?” kata dia pagi itu
“Mau. Kapan berangkatnya?” jawab saya sambil bertanya balik
“Nanti sore!,” jawab dia tegas
“Hah, nanti sore,” kata saya lumayan kaget.
“Iya, nanti sore berangkat,” kata dia meyakinkan
“Baiklah, saya bicara dulu sama Bapane dan Yayune (Bapak dan Ibu,” kata saya

Sayapun menyampaikan niat saya ke Jakarta sekaligus berpamitan kepada kedua orangtua. Kemudian saya mengemas pakaian dan keperluan lain untuk dibawa.

Tibalah sore yang dinanti. Dari rumah berjalan menuju jalan raya desa Kembangan, Purbalingga Jawa Tengah. Di dekat jembatan sungai serayu, di situ kami menunggu bis yang berangkat menuju Jakarta. Saya nggak tahu kenapa Saudara saya, Surbani nunggu bis di situ. Kenapa tidak ke loket penjualan tiket? Atau waktu itu belum ada, entahlah.

Satu bis datang, di-stop, tidak berhenti. Bis kedua datang di-stop, jalan terus. Mungkin bis itu sudah penuh, batinku. Sampailah bis yang ketiga di-stop dan berhenti, masuklah kami berdua ke bis itu.
Pagi buta kami berdua tiba di ibu kota. Deru mesin Metromini dan aroma knalpot Kopaja menyambut kedatangan kami. Dari terminal Pulau Gadung, kami melanjutkan perjalanan menuju terminal Blok M. Dari terminal Blok M, kami naik Kopaja 616 menuju Cipedak, Ciganjur. Tempat yang dituju adalah Foto Copy IKA, depan kampus ISTN Srengseng Sawah Jakarta Selatan.

Di tempat inilah saya mulai belajar atau “kuliah” kehidupan. Inilah pembelajaran yang sesungguhnya. Dengan telaten, Surbani mengajari saya bagaimana mem-foto copy dokumen. Saya juga diajari laminating, menjilid, dan sebagainya. Bukan hanya soal teknik, Surbani juga mengajarkan ke saya bagaimana melayani customer (pelanggan). Juga bagaimana menghadapi komplain mereka. Di sini saya pernah merasa ketakutan dibentak mahasiswa orang Batak.

“Di sini mahasiswanya dari berbagai daerah, termasuk banyak orang Batak. Orang Batak itu memang logatnya begitu. Sebenarnya dia tidak marah, tidak membentak, tapi memang gaya bicaranya seperti itu,” kata Surbani menenangkan saya.

Suatu kali, di hari libur, Surbani mengajak saya jalan-jalan, ke Blok M kalau tidak salah. Meski tidak dia ungkapkan, saya merasa saat itu dia sedang mengajari saya bagaimana menyeberang jalan di ibukota. Seperti diketahu, cara menyeberang jalan raya di desa dan di kota memang sedikit ada perbedaan dan orang yang baru datang dari desa memang harus belajar menyesuaikan itu. Surbani juga mengajari saya bagaimana naik eskalator di mall. Maklumlah, orang baru datang dari kampung. Tapi poin-nya bukan itu. Saking baiknya, Surbani sampai mengajari hal-hal kecil sedetail itu.

Saya memang tidak lama bekerja bersama Surbani di Foto Coopy IKA di Srengseng Sawah. Hanya dua minggu dan belum sempat gajian. Seorang pelanggan menawari saya untuk bekerja sebagai pesuruh di sebuah sekolah swasta di Depok. Saya tertarik. Setelah saya ngomong dengan Surbani, dia mengijinkan. Maka sejak pertengahan Juni 1990, saya memulai petualangan baru sebagai pesuruh di sebuah sekolah swasta di Depok.

Setelah itu kami berpisah. Terkadang kami saling berkunjung. Terkadang saya datang ke Cipedak. Di saat lain Surbani datang ke markas saya di Depok. Waktu terus berlalu. Surbani berkali-kali pindah tempat kerja. Saya pun beberapa kali pindah tempat kerja. Memang masih saling berkunjung, namun sudah semakin jarang seiring kesibukan masing-masing.

Sekitar tiga tahun lalu, adik saya kasih kabar kalau Surbani sakit. Saat itu saya sempatkan menengok ke rumahnya di wilayah kampung Stangkle Depok. Meski badanya terlihat agak kurus, namun saat itu dia dalam kondisi yang agak sehat. Hal itu terbukti dengan menjemput saya di depan gang ketika saya kesasar.Saat itu Surbani menceritakan kalau dirinya kena penyakit gula. Beragam ikhtiar sudah dia lakukan, mulai dari medis hingga obat herbal.

Saya baru bertemu lagi, mungkin sekitar setahun setengah kemudian. Kondisi kesehatannya sudah agak menurun. Saat saya berkunjung ke rumahnya, dia berencana mau berobat di kampung. Dia akan dibawa ke kampung oleh kakaknya, Ruswan. Namun saat saya di rumahnya, kang Ruswan masih ada di rumah adiknya yang lain, Japar. Jadi saya tidak sempat ketemu mereka karena saya harus pulang ke Ciputat.

Setelah dirawat di kampung, kabar yang saya terima Surbani sudah sembuh dan sehat kembali. Saya memang selalu menanyakan kabar Surbani melalui adik-adik saya. Setelah itu bahkan kabarnya sudah sehat dan bekerja lagi. Saya pun berucap syukur Alhamdulillah.

Namun Allah, Tuhan Maha Kuasa berkehandak lain. Kemarin  siang (Sabtu, 2 Mei 2020), saya mendapat kabar Surbani berpulang ke Ramhatullah. Innalillahi wa innailaihi rojiuun.

Sedih mendengarnya. Pikiran berputar kembali ke masa lalu. Bagaimana dia baiknya kepada orang lain, terutama kepada saudara-saudaranya. Bukan hanya saya, adik-adik saya juga bekerja di Jakarta lantaran dia yang membawa. Juga saudara-saudara yang lain. Bahkan beberapa orang lain dari kampung. Dia memang orang baik. Saya yakin, Allah Swt akan melipatgandakan amal dan kebaikannya.

Selamat Jalan Saudaraku, Surbani Bin Martasim

Semoga Allah Swt mengampuni segala dosa-dosanya, menerima semua alam ibadahnya dan semoga Khusnul Khotimah, Aamiin. 

Allahumma firlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fuanhu, Al Fatihah



الأربعاء، مارس 25، 2020

Hantu Corona dari Wuhan



Wabah virus corona baru terus menghantui. Sejak ditemukan pertama kali akhir Desember 2019, jumlah orang yang terinfeksi virus tersebut terus bertambah. Per 15 Januari 2020, Tiongkok mengkonfirmasi bahwa orang yang telah terinfeksi virus corona baru berjumlah 14 orang. Jumlah itu terus bertambah bahkan lonjakannya begitu tinggi. Pada penguhujung bulan Januari 2020, Tiongkok mengkonfirmasi bahwa jumlah orang yang terinfeksi sebanyak 5.806 orang dan 213 diantaranya meninggal dunia.

Mencermati perkembangan kasus virus corona baru yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah Tiongkok bertindak cepat. Kota Wuhan dan beberapa kota di sekitarnya diisolasi. Tiongkok melarang semua warga untuk keluar dan masuk ke kota tersebut. Semua warga yang tinggal di kota itu, khususnya Wuhan terjebak. Tidak bisa ke mana-mana. Tak terkecuali warga negara asing yang tinggal di sana. Warga Amerika Serikat, Jepang, Korea selatan, termasuk juga warga negara Indonesia.

Kondisi tersebut membuat negara-negara yang memiliki warga negara yang tinggal di sana cemas. Mereka ingin mengevakuasi warga negaranya untuk keluar dari kota Wuhan. Namun itu tidak mudah karena sudah ada larangan pemerintah Tiongkok untuk keluar masuk dari dan ke Wuhan  

Namun larangan Tiongkok tak membuat negara-negara itu berhenti mengupayakan evakuasi warga negaranya. Setelah melakukan komunikasi, Jepang akhirnya bisa mengevakuasi warganya 29 Januari 2020.  Ada sekitar 650 warga Jepang di Wuhan yang ingin pulang. 

Sehari berikutnya giliran Amerika Serikat berhasil mengevakuasi 200 warganya keluar dari kota Wuhan. Kemudian Korea Selatan tidak mau ketinggalan. Melalui dua kali penerbangan, Korea Selatan juga berhasil mengevakuasi 700 warganya dari ibu kota propinsi Hubei itu.

Sementara Indonesia masih ketar-ketir dan was-was karena 245 warganya masih terjebak di Wuhan. Pemerintah Indonesia melalui KBRI di Tiongkok terus memantau kondisi para WNI di Wuhan yang kebanyakan adalah para mahasiswa. Pemerintah Indonesia memastikan agar kondisi kesehatan para WNI di Wuhan tetap baik. Pemerintah juga memastikan agar ketersediaan logistik bagi mereka mengingat mereka tidak bisa keluar dari asrama.

Setelah melakukan komunikasi beberapa kali antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok, maka akhirnya Tiongkok mengizinkan Indonesia untuk mengevakuasi warganya. Selain mengizinkan,Tiongkok juga siap memfasilitasi kepulangan WNI dari Wuhan. Pemerintah Indonesia menyewa pesawat Batik Air berjenis Airbus 330-300 milik maskapai Lion Air Group. 

Pesawat Batik Air berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Sabtu 1 Februari 2020 pukul 06.00 WIB dan diperkirakan tiba di Wuhan pukul 12.00 waktu setempat. Dari 245 WNI akhirnya hanya 238 yang bisa dievakuasi. Tiga WNI dinyatakan dalam kondisi sakit jadi tidak memenuhi syarat protokol dari pemerintah Tiongkok untuk bisa dievakuasi. Sedangkan sisanya memilih  untuk tetap tinggal di Wuhan.

Minggu, 2 Februari 2020 pukul 14.00 WIB pesawat Batik Air tiba di Bandara Hang Nadim Batam. Saat turun, seluruh penumpang disemprot dengan disinfektan. Para WNI tersebut kemudian dipindahkan ke pesawat milik TNI AU untuk kemudian diterbangkan ke kepulauan Natuna. 

Di pulau Natuna, para WNI tersebut akan menjalani karantina selama 14 hari. Usai dikarantina, mereka diperiksa kondisi kesehatannya untuk kemudian diterbangkan ke Bandara Haim Perdana Kusuma Jakarta.  Setelah itu, mereka diizinkan untuk pulang ke rumah masing-masing

Referensi: dari berbagai sumber

الثلاثاء، مارس 24، 2020

Wabah Virus Corona Baru


Awal tahun 2020, dunia disibukan dengan wabah virus corona. Virus itu muncul pertama kali di kota Wuhan, ibukota propinsi di daratan Tiongkok. Pada 31 Desember 2019, pejabat kesehatan Tiongkok pertama kali melaporkan munculnya beberapa kasus pneumonia. Saat itu belum diketahui virus penyebabnya. Namun jika melihat gejalanya, diduga penyebabnya adalah virus SARS.

Pada tanggal 5 Januari 2020, pejabat kesehatan Tiongkok menyatakan bahwa penyebab pneumonia itu bukan virus SARS. Dua hari berikutnya, pada 7 Januari 2020 pejabat kesehatan Tiongkok baru bisa memastikan bahwa penyebab pneumonia itu adalah virus baru dari keluarga corona. Virus itu diberi nama 2019-nCoV. Keluarga virus corona juga menyebabkan SARS dan flu biasa. Virus itu menyebar melalui batuk, bersin, atau menyentuh orang yang terinveksi.

Tanggal 10 Januari 2020, Tiongkok mengkonfirmasi jumlah pasien positif virus corona baru sebanyak 44 orang. Selain jumlah orang yang terinfeksi terus bertambah di Tiongkok, virus itu juga telah menyebar ke berbagai negara. Beberana negara itu adalah Hongkong, Singapura, Thailand, Vietnam, Jepang, Korea Selatan dan Iran.

Di penghujung Januari, Tiongkok mengonfirmasi jumlah orang terinfeksi sebanyak 9.096 orang dan 213 orang diantaranya meninggal dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian darurat global atas wabah patogen mematikan  yang telah menyebar ke berbagai negara itu.

Sebelumnya WHO sempat meremehkan ancaman virus corona baru ini. Namun Badan Kesehatan Dunia itu merevisi penilaian tersebut setelah membicarakan krisis tersebut pada Kamis (30/1-2020).

"Kita semua harus bertindak bersama sekarang untuk membatasi penyebaran lebih lanjut. Kita hanya bisa menghentikannya bersama," kata Direktur WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pengarahan di Jenewa, seperti dikutip Reuters.

Namun saat itu Ghebreyesus mengatakan tidak perlu untuk membatasi perjalanan dan perdagangan dengan Tiongkok untuk membendung penyebaran virus tersebut. Saat itu sudah terkonfirmasi bahwa virus corona baru telah menyebar di lebih dari 15 negara.

Banyak negara telah mendesak warganya tidak mengunjungi Tiongkok untuk sementara waktu. Beberapa negara juga telah melarang wisatawan dari kota Wuhan, ibukota propinsi Hubei, tempat di mana virus corona baru itu pertama kali muncul.

Virus corona baru mirip dengan patogen Sindrom pernafasan Akut parah atau Severe Acute Respiratory Symdrome (SARS). Wabah SARS yang muncul pada tahun 2002-2003 juga berasal dari Tiongkok. Saat itu, wabah SARS membunuh hampir 800 orang di seluruh dunia.

Tingkat penyebarannya yang begitu tinggi membuat seluruh masyarakat dunia waspada dan berhati-hati terhadap virus corona baru ini. Menurut para ahli, penyebaran virus corona baru ini melalu tetesan kecil yang keluar dari hidung atau mulut penderita.

Jika orang yang terinfeksi virus ini batuk atau bersin, maka droplet atau cairan yang keluar dari hidung atau mulut bisa menempel di berbagai benda. Jika itu disentuh dengan tangan kemudian orang itu mengusap mata, hidunt atau mulut, maka dia akan tertular. 

Karena itu agar tidak tertular, orang harus  berhati-hati dengan menjaga jarak dengan penderita. Harus sering mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer. Penderita juga diharuskan menggunakan masker sehingga tidak menularkan virus ke orang lain yang sehat.

Referensi: berbagai sumber
Foto: Kompas.com

الخميس، يناير 09، 2020

Rafting vs Ramonan



Senin pagi, 6 Januari 2020 Ciputat diguyur hujan. Jam setengah enam lewat sedikit, saya sudah berkemas-kemas. Dengan berpayung, saya meluncur ke Taman Kuliner Ciputat. Demi memenuhi kewajiban mengikuti kegiatan Employ Gathering. Sesampai di Tamkul (Taman Kuliner) Ciputat, baru beberapa gelintir orang terlihat di bus.

Di surat pemberitahuan tertera jam kumpul 05.00 WIB. Sedari awal saya kurang yakin dengan ketentuan waktu itu. Ini ditambah hujan deras pula. Ketika saya sudah duduk di bus, sekitar jam 06.20 baru ada informasi bahwa pemberangkatan diundur menjadi 06.30 WIB. Alasannya banyak peserta yang terkendala hujan. Ya gak kaget, wong sudah saya duga.

Jam 06.30 WIB pun masih meleset. Di bawah rintik gerimis, bus akhirnya berangkat jam 06.55 WIB menuju Arung Jeram Alamanda Caringin – Bogor. Ada dua bus yang membawa rombongan Karyawan Perguruan Islam Al Syukro Universal. Rute yang ditempuh adalah Tol Lebak Bulus menuju Tol Jagorawi.

Sekitar jam delapan lewat, bus pembawa rombongan Employ Gathering berhenti di Rest Area Sentul. Seperti biasa, untuk memberi kesempatan peserta ke Toilet. Apalagi cuaca begitu dingin. Gerimis masih terus saja mengguyur ketika rombongan kembali melanjutkan perjalanan.

Sekitar sembilan lewat (kalau tidak salah), rombongan Employ Gathering Al Syukro Universal tiba di Arung Jeram Alamanda Caringin – Bogor. Panitia (EO) dari Arung Jeram Alamanda Caringin menyambut rombongan Employ Gathering Al Syukro dengan ramah dan penuh suka cita. Peserta Employ Gathering dipersilakan untuk beristirahat sejenak. Sekitar 20 – 30 menit.

Setelah beristirahat, EO Alamanda Arung Jeram meminta para peserta untuk berkumpul di areal lapangan. Acara dimulai dengan pembacaan doa oleh Ustad Elan Jaelani. Dilanjutkan dengan sambutan Direktur Perguruan Islam Al Syukro Universal, Ibu Cicih Kurniasih.

Setelah itu, beragam permainan, game-game pun mulai dimainkan. Kegiatan itu berlangsung di bawah guyuran hujan yang rupanya tak mau berhenti. Semua peserta basah kuyup diguyur hujan. Kecuali saya, dengan handycam jadul Merek Sony, saya mengabadikan kegiatan itu dari Saung. Alhamdulillah. Acara berlangsung sampai sekitar jam 10.30 WIB.  

Kegiatan dilanjutkan dengan Rafting di sungai Cisadane, Caringin - Bogor. Sebelum rafting dimulai, EO memberikan pembekalan, tata cara dan tata tertib pelaksanaan rafting. Peserta diminta untuk membentuk kelompok dengan jumlah 6 orang campur laki-laki dan perempuan. EO tidak menyarankan regu terdiri perempuan semua. Hal itu untuk mengantisipasi jika terjadi kendala di lapangan. Jadi, setiap regu harus ada peserta laki-lakinya.

Sebelum terjun ke sungai Cisadane, peserta rafting menyempatkan untuk foto bersama. Saat itulah saya mencari lokasi yang pas untuk mengabadikan peserta rafting. Saya jalan beberapa puluh meter dari lokasi kumpul peserta. Dari bawah sebuah saung, saya mengabadikan teman-teman peserta rafting. Hasilnya memang tidak sempurna. Maklum, peralatan seadanya. Jadul pula. Lokasi juga tidak terlalu strategis. Tapi saya pikir gak papa. Lumayan lah.

“Pak Badiyo gak ikut Rafting?” tanya seorang teman

Sejujurnya, kalau lihat teman-teman naik perahu karet menyusuri sungai, hati saya ini gak karuan rasanya. Pikiran melayang ke masa silam. Saat usia masih belasan, hampir tiap hari saya main di sungai. Bahkan sejak masih di SD.

Rumah orangtua saya dulu memang dekat dengan sungai Serayu. Sekitar dua ratus meteran lah. Di desa Kembangan Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. Kampung itu dilewati sungai yang cukup besar, Serayu. Ya, sungai yang membentang dari dataran tinggi Dieng di Wonosobo mengalir melewati wilayah Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas dan akhirnya bermuara di Cilacap.

Bagi saya, berenang dan bermain di sungai dulu itu biasa. Hampir setiap hari, saya bercengkerama dengan derasnya sungai Serayu. Menyeberang dari satu sisi sungai ke sisi yang lain. Loncat dari atas perengan, lalu nyebur dan berenang ke sana kemari.

Walaupun memang kondisi sungainya sedikit berbeda. Tidak ada batu-batu besar di sungai Serayu di kampung saya. Ini berbeda dengan sungai Cisadane di Caringin Bogor yang banyak batu-batu besar.
Dulu saat saya main di sungai gak pakai alat bantu apa pun. Kalau pun ada alat bantu,  paling-paling pakai ramon. Tahu apa itu ramon? Ya, ramon adalah batang pohon pisang. Satu batang pohon pisang dipotong bisa jadi dua atau tiga bagian. Ramon itulah yang dipakai anak-anak kampung untuk menyusuri sungai. Ramonan kata anak-anak di kampung saya dulu. Tapi itu jarang. Anak-anak kampung lebih sering bermain di sungai tanpa alat apapun.  

Ya, tapi itu dulu, saat saya masih usia belasan tahun. Sekarang, saya harus sadar diri. Kondisi fisik sudah jauh berubah.  Terlebih, jauh-jauh hari istri sudah wanti-wanti. “Gak usah ikut-ikut permainan ya! Permainan apa pun gak usah ikut. Inget usia kita, gak muda lagi!” pesan istri.

Terima kasih, istriku, Retno Utari sudah mengingatkan. Kalau gak, mungkin saya ini gatel liat teman-teman main rafting. Bawaannya pengin nyebur aja. Hahaha. Habis, inget dulu waktu masih anak-anak di kampung. Main di sungai itu mainan saya. Kalau kata anak sekarang, “Gue banget” itu. Hahahaha. Tapi ya sudah lah, apa boleh baut.

Saya cukup jadi penonton yang produktif. Loh, apa maksudnya penonton yang produktif. Ya, saya tidak cuma nonton doang. Sambil nonton, saya dokumentasikan teman-teman yang ikut rafting.  Meski hasilnya gak bagus-bagus amat, tapi lumayan lah. Ada dokumentasinya. Teman-teman bisa lihat di akun youtube saya, Mas Badiyo. Alhamdulillah.

Daftar Bupati Purbalingga

DAFTAR BUPATI PURBALINGGA Foto: Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Purbalingga (medcom.id) Tahukah Anda, bupati Purbalingga saat ini y...