Totalitas Bekerja, antara Periuk Nasi dan Penghargaan
Bagi sekolah swasta, Pendaftaran Siswa Baru (PSB) adalah salah satu kegiatan yang sangat penting. Oleh karena itu, setiap menjelang tahun ajaran baru tiba, setiap sekolah swasta telah mempersiapkan diri guna menjaring calon siswa baru. Kepanitiaan PSB dibentuk, agenda kegiatan pun direncanakan.
Sebagai seorang staf Tata Usaha, saya hampir selalu menjadi salah satu anggota panitia PSB. Seringkali saya ditempatkan di garda terdepan yakni di bagian pendaftaran. Di masa-masa awal, saya sempat grogi, gemetaran dan stres. Pasalnya, saya harus menghadapi dan menjawab berbagai pertanyaan dari calon orang tua siswa. Apalagi saya bertugas untuk menerima pendaftaran tingkat TK, SD, dan SMP. Praktis saya harus menguasai seluk beluk tentang TK, SD, dan SMP. Paling tidak, saya harus mengetahui tentang kurikulum, sistem pembelajaran, fasilitas, dan SDM atau guru-guru di tiga unit sekolah tersebut.
Suka, duka, malu, bangga, pahit, getir, manis dan asam saya alami serta rasakan dalam menjalani tugas tersebut. Jika saya bisa menjawab berbagai pertanyaan dari calon orang tua siswa dengan lancar dan bisa meyakinkan mereka untuk jadi mendaftar, tentu saya merasa senang. Namun jika tidak mampu menjawab pertanyaan dan tidak bisa meyakinkan bahkan mengecewakan mereka, betapa malu dan sedihnya saya.
Selain itu, ada pengalaman lain yang saya alami selama menjalani tugas sebagai panitia PSB. Ini soal motivasi anggota panitia PSB. Di tahun 2007 lalu, beberapa orang tepatnya sebagian besar anggota panitia tidak ”bergairah” bahkan tak mau menjalankan tugasnya. Alasan mereka adalah, ”Kalau kita bekerja keras dan PSB sukses, nanti keenakan ketuanya. Yang bekerja keras kita, yang dapat nama ketuanya” demikian alasan mereka. Mereka beralasan begitu karena secara kebetulan yang menjadi ketua PSB adalah orang yang tidak mereka sukai.
Mendengar alasan mereka, saya hanya manggut-manggut saja. Berbagai pelajaran dan pengalaman yang telah saya dapatkan membuat saya tidak sependapat dengan mereka. Meski tidak sependapat, saya tak berani mengatakannya. Saya menyadari posisi saya sebagai bawahan.
Sebelum bekerja di tempat yang sekarang yakni di Sekolah Islam Al Syukro Ciputat, saya pernah bekerja di sebuah sekolah swasta di Depok, yakni di SMP-SMA Bintara Depok. Di sana saya bekerja selama 11 (sebelas) tahun. Di sekolah tersebut, saya mempunyai dua orang ”guru besar” yang akhirnya sangat mempengaruhi semangat dan cara kerja saya di kemudian hari. Pertama, Ketua Yayasan (Ibu Siti Nurul, SE), dan yang kedua adalah Kepala Sekolah (Bapak Drs. H. SK. Wastaatmadja). Keduanya mengajarkan semangat juang yang tinggi dalam bekerja. Mereka juga mengajarkan kepada saya bahwa dalam bekerja jangan asal bekerja, jangan sekedar melaksanakan kewajiban. Tetapi, bekerjalah dengan penuh kesungguhan untuk meraih hasil kerja yang maksimal.
Dalam sebuah kesempatan, mereka pernah mengingatkan kepada guru dan karyawan bahwa nasib kita, periuk nasi kita, sangat tergantung dari ada tidaknya, sedikit banyaknya siswa yang mendaftar. Jika banyak siswa yang mendaftar, untuk sementara amanlah nasib kita, amanlah periuk nasi kita. Namun jika sedikit siswa yang mendaftar, maka adalah tanda-tanda bahwa dapur kita bisa jadi tidak akan ngebul lagi di masa mendatang. Oleh karena itu, sebagai guru dan karyawan sekolah swasta kita harus bekerja sama bahu-membahu untuk mensukseskan kegiatan pendaftaran siswa baru. Betul, rizki Allah yang mengatur, tetapi apakah rizki itu turun begitu saja dari langit? Tentu kita harus bekerja keras untuk meraih rizki yang telah Allah tentukan itu.
Pelajaran dan pengalaman itulah yang membuat saya tetap terjaga dalam motivasi yang tinggi diantara apatisme rekan-rekan lainnya. Saya sadar betul bahwa maju mundur sekolah swasta sangat tergantung dari banyak tidaknya siswa yang mendaftar. Untuk itulah saya berupaya dan bekerja semaksimal mungkin untuk mensukseskan kegiatan PSB. Saya berusaha membantu, melayani, dan meyakinkan para pendaftar. Lebih dari itu, saya taburkan ”bumbu-bumbu” dan jurus-jurus rayuan agar mereka tertarik dan jadi mendaftar.
Saya bekerja dengan penuh totalitas. Saya melaksanakan semua tugas itu dengan senang dan riang gembira (meminjam istilah Pak Ersis Warmansyah Abas, penulis buku Menulis itu Mudah). Soal siapa yang akan dapat nama, itu penting tidak penting. Menurut saya lebih penting periuk nasi tetap bergoyang dibanding soal nama baik atau penghargaan. Jauh lebih penting lagi, saya bersyukur karena telah mampu berbuat kebaikan. Melayani orang tua siswa yang sedang mencari sekolah untuk anaknya itu kebaikan. Memungkinkan sekolah bisa memperoleh siswa yang banyak itu juga kebaikan. Menurut Pak Mario Teguh, salah seorang konsultan bisnis dan motivator Indonesia, hadiah dari kebaikan adalah kebaikan itu sendiri. Jadi, dalam totalitas saya bekerja, saya temukan dan dapatkan kebaikan terselip diantara periuk nasi dan nama baik atau penghargaan.