Saat saya mengapdet status facebook usai kemenangan Timnas
Indonesia 2-1 atas Singapura, seorang teman berkomentar: “Ku seringnya tdk
nonton, ato kalo nonton timnas ku seling kegiatan lan, habis nontonna gemetar
sampi badan dingin, apalagi kalo timnas terdesak, badanku smakin gemetar
dingin, kasihan gtu, kalo prtandingan hamper selesai lihat full, pingin lihat
skor.
Komentar tersebut saya jawab: “Kalo saya saat Timnas main,
diam saja dan teang sambil pantengin tu tv. Kalau menang begitu senang dan
rilek. Tapi kalo kalah ya manyun dan jadi males ngapa-ngapain.”
Komentar teman dan tanggapan saya menyiratkan satu hal yang
sama: belum siap menerima kekalahan. Belum terima kalau Timnas yang dibanggakan
kalah. Tidak ada alasan dan argument lain, kecuali Timnas harus menang.
Contoh di atas menggambarkan ketidaksiapan kalah dalam skala yang masih wajar. Banyak orang menyikapi kekalahan dengan sikap yang berlebihan. Mulai dari menyalahkan wasit yang berat sebelah, kondisi lapangan yang tidak ideal dan sebagainya. Lebih dari itu, tidak sedikit supporter yang melampiaskan kekecewaan dengan melakukan tawuran dan pengerusakan.
Padahal dalam setiap pertandingan selalu ada yang menang dan
ada yang kalah. Dalam sepak bola dan juga pertandingan olah raga lainnya
sebenarnya mengajarkan kita untuk berjiwa kesatria. Jika menang tidak
menyombongkan diri dan merendahkan yang kalah. Sebaliknya jika kalah harus
menerima dan mengakui kekalahan. Kemudian menghargai dan menghormati serta member
selamat kepada yang menang. Itulah jiwa kesatria, siap menang dan siap juga
kalah.
Belum siap menerima kekalahan juga terjadi dalam dunia
politik. Sejak reformasi dimana Pemilihan Umum, termasuk Pilpres dan Pilkada dilakukan
secara langsung. Pada umumnya kita menginginkan jagoan kita harus menang. Tidak
peduli bagaimana pun caranya. Tidak mau tahu apa pun alasannya. Pokoke kudu
menang.
Jika jagoan yang didukung kalah, ya menyalahkan pihak lain.
Kemudian terus-terusan menghujat yang menang. Contoh nyata adalah Pilpres 2014
di mana ada dua calon yakni Prabowo Subiyanto dan Joko Widodo. Para pendukung
Prabowo Subiyanto tidak mau menerima kekalahan. Mereka terus menerus menghujat
Joko Widodo yang berhasil memenangkan Pilpres.
Padahal Prabowo Subiyanto sendiri sudah memberikan contoh
yang baik. Prabowo menganggap kontestasi sudah selesai pasca putusan Mahkamah
Konstitusi. Sikap Legowo dan Kesatria Prabowo ditunjukan mulai saat dia
menerima kunjungan Joko Widodo di kediamannya di Jalan Kertanegara No. 4
Kebayoran Baru Jakarta Selatan, tanggal 17 Oktober 2014. Sikap kenegarawanan
Prabowo kembali ditunjukkan saat menghadiri pelantikan Joko Widodo sebagai
Presiden RI ke-7 di Gedung MPR, tanggal
20 Oktober 2016.
Kemudian berturut-turut kedua tokoh sentral negeri ini saling
kunjung mengunjungi. Tanggal 29 Januari 2015, Ketua Umum Partai Gerindra itu
menemui Joko Widodo di Istana Bogor. Dalam pertemuan itu, Prabowo menyampaikan
dukungan penuh terhadap pemerintahan Joko Widodo.
Presiden Joko Widodo membalas kunjungan Prabowo dengan
bertandang ke kediamannya di Hambalang, 31 Otober 2016. Di Hambalang, Prabowo
mengajak Jokowi naik kuda bersama. Dalam kesempatan tersebut, Joko Widodo
menyampaikan bahwa kontestasi boleh terjadi saat Pilpres. Namun setelah
selesai, siapa pun pemenangnya kita harus bekerjasama membangun bangsa.
Prabowo kembali mengunjungi Presiden Joko Widodo di Istana Negara
Jakarta, 17 November 2016. Di Istana Negara, dua tokoh sentral Republik ini
berbincang dengan santai. Di Teras Istana, Jokowi mengatakan kepada wartawan: “Kita
tidak menginginkan kita terpecah-belah gara-gara perbedaan politik, karena sangat
mahal harnganya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan Prabowo Subiyanto mengatakan bahwa walaupun mereka bersaing
secara politik dan terus mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak
tepat, namun sejak awal berkomitmen untuk mendukung pemerintahan dan tidak akan
bersikap destruktif apalagi sampai menjegal.
Sikap kenegarawanan Prabowo Subiyanto semakin jelas saat
wawancara dengan Rosiana Silalahi yang disiarkan secara live oleh Kompas TV,
Senin (28/11/2016) malam. Begitu banyak pelajaran politik yang disampaikan oleh
Pak Prabowo dalam wawancara itu. Jika ingin tahu secara lengkap bisa melihatnya
di youtube. Karena akan terlalu banyak jika saya tuliskan di sini.
Namun saya ingin menuliskan salah satu intisari yang saya
dapat dari wawancara tersebut. Menurut Pak Prabowo Subiyanto di mana pun posisi
kita berada, yang terpenting adalah bagaimana kita mengabdi bagi bangsa dan negara.
Bukan bagaimana kita berkuasa. Betapa itu sikap yang sangat Bijaksana. Sikap
seperti itu tidak mungkin timbul kecuali dari seseorang yang punya jiwa
kenegarawanan.
Kita sebagai bangsa Indonesia patut bangga dan bersyukur memiliki
dua sosok anak bangsa yang berjiwa Kesatria. Berani bertarung (saat Pilpres),
siap menang dan siap kalah dan bersatu lagi seusai pertandingan demi membangung
bangsa dan negara, Indonesia. Keduanya telah memberikan contoh yang baik bagi
kita semua.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق