الجمعة، مايو 22، 2020

Patuhi Pemerintah, Jangan Mudik


Hari Raya Idul Fitri tinggal beberapa hari lagi. Saat-saat seperti ini biasanya para perantau sedang bersiap-siap untuk melakukan mudik. Sebagai sebuah fenomena tahunan, mudik memang sudah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Hari Raya Idul Fitri adalah momen bagi para perantau untuk mudik. Berkumpul dengan keluarga di kampung halaman adalah puncak kebahagiaan bagi para perantau. Tak heran jika setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri jutaan perantau berbondong-bondong mudik ke kampung halaman.

Namun tahun ini kondisi dan situasinya berbeda. Wabah pandemi virus korona atau coronavirus memaksa semua orang harus bersabar untuk tidak mudik tahun ini. Pemerintah secara resmi telah melarang mudik tahun ini. Larangan mudik dituangkan melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama  Mudik Tahun 1441 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Larangan mudik tersebut berlaku mulai tanggal 24 April hingga 31 Mei 2020.

Mungkin ini  keputusan pemerintah yang tidak populer bagi sebagian masyarakat. Terutama bagi masyarakat yang sudah punya rencana untuk melakukan mudik. Terlebih bagi para  perantau yang memang selalu mudik saat Idul Fitri tiba. Namun pemerintah harus mengambil keputusan ini untuk mencegah penyebaran coronavirus agar tidak semakin meluas.

Menurut situs alodokter, virus corona atau yang dalam bahasa kedokteran disebut sebagai severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus ini disebut COVID-19. Virus corona bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru yang berat, hingga kematian.

Sementara menurut WHO dalam situsnya menjelaskan bahwa coronavirus adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). 

Coronavirus jenis baru ini pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Dirangkum dari Telegraph, penyebaran coronavirus ke seluruh dunia diyakini berasal dari “pasar basah” di Wuhan, China yang menjual hewan hidup dan mati, termasuk ikan dan burung. Namun tidak ada kelelawar di pasar itu, di mana hewan itu ditengarai sebagai inang dari coronavirus. Para peneliti kemudian menduga bahwa coronavirus yang berasal dari kelelawar menular ke hewan lain, mungkin trenggiling dan kemudian baru menular ke manusia.

Setelah China, beberapa negara kemudian mengkonfirmasi kalau coronavirus telah menginfeksi warganya. Bulan Januari 2020 tercatat ada sembilan negara yang mengonfirmasi kasus positif. Kesembilan negara itu adalah Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Nepal, Thailand, kanada, Australia, Kamboja dan Srilanka. Globalisasi membuat penyebaran coronavirus ini begitu cepat dan masif. Hingga bulan Mei 2020, virus korona sudah menyerang hampir semua negara di dunia. Tercatat lebih dari 210 negara telah mengonfirmasi kasus positif covid-19, termasuk Indonesia  yang mengonfirmasi kasus pertamanya pada 2 Maret 2020. 

Virus korona menyebar antara manusia ke manusia melalui tetesan cairan dari mulut dan hidung atau droplet dari  orang yang terinfeksi. Percikan-percikan dari hidung dan mulut orang yang terinfeksi tersebut bisa jatuh dan tertinggal pada benda-benda yang ada di dekatnya. Jika benda-benda tersebut disentuh oleh orang lain, maka kemungkinan orang yang menyentuh benda tersebut akan terinfeksi. Penularan covid-19 juga bisa terjadi jika menghirup percikan yang keluar dari batuk atau napas orang yang terjangkit covid-19. Itu sebabnya penting untuk menjaga jarak minimal satu setengah meter.  

Menurut hasil sebuah penelitian studi terbaru menyatakan bahwa protein yang terkandung dalam virus corona SARS-CoV-2 memiliki bagian khusus (ridge) yang lebih padat. Hal itu membuat virus corona SARS-CoV-2 lebih mudah menempel pada sel manusia dibanding virus corona jenis lainnya. Saat virus mudah menempel ke sel manusia, ini memungkinkan virus corona SARS-CoV-2 memiliki kemampuan menginfeksi dengan lebih baik dan mampu menyebar lebih cepat.

Maka bisa dibayangkan jika jutaan pemudik dari Jabodetabek yang notabene sebagai zona merah Covid-19 berbondong-bondong ke daerah. Mungkin saja para pemudik itu dalam keadaan sehat saat melakukan perjalanan mudik. Namun bukan tak mungkin di perjalanan mereka akan terinfeksi. Bisa saja mereka akan terinfeksi di kendaraan umum, di kereta, di terminal, di stasiun atau di rest area. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa orang yang terinfeksi covid-19 tidak selalu menimbulkan gejala. Tidak demam dan tidak merasa sakit namun sebenarnya orang itu membawa virus covid-19. Orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai carrier atau pembawa virus yang bisa menularkan ke orang lain.

Sebuah penelitian yang dilakukan Imperial College London dan Lancaster University menyimpulkan bahwa setiap orang yang terinfeksi coronavirus bisa menularkan penyakitnya terhadap rata-rata antara dua sampai tiga orang. Maka bisa dibayangkan jika  ada 10 juta pemudik dan 500 orang yang membawa virus, maka berapa orang yang akan tertulari? Potensi penularan mungkin saja akan terjadi di perjalanan, di kendaraan umum, di kereta api, di terminal, di stasiun di rest area dan di toilet-toilet umum.

Kemudian para pemudik yang membawa covid-19 atau yang sudah tertulari bertemu dengan keluarga di kampung, maka mereka berpotensi akan menularkannya ke keluarga mereka. Orangtua, anak, istri, saudara, kerabat dan handai tolan akan mendapat “oleh-oleh” virus covid-19. Ini bukan “oleh-oleh” yang menyenangkan, namun sebaliknya menyengsarakan bahkan mematikan.  

Jika hal itu sampai terjadi, maka sulit membayangkan bagaimana jadinya. Kalau banyak warga yang terinfeksi virus korona, sementara jumlah rumah sakit di daerah itu terbatas. Begitu juga dengan jumlah tenaga medis dan paramedis. Bukan tak mungkin rumah sakit di daerah akan kewalahan menampung dan menangani pasien yang membludak.   

Itulah yang dengan sekuat tenaga dicegah oleh pemerintah dengan mengeluarkan larangan mudik. Pelarangan mudik itu bertujuan untuk keselamatan para perantau dan keluarganya serta masyarakat pada umumnya.  Namun larangan itu menjadi sia-sia jika para perantau tidak peduli dan tidak mau mematuhinya.  


Mengingat betapa bahayanya coronavirus dan dampak yang ditimbulkannya, maka pilihan paling bijak bagi para perantau adalah mematuhi pemerintah untuk tidak mudik. Dengan tidak mudik, mereka telah menjaga keselamatan diri sendiri, keluarga yang mereka cintai dan juga orang lain. Lebih dari itu, mereka telah berjuang untuk menyelamatkan bangsa dan negeri ini dari wabah pandemi covid-19 yang sangat berbahaya dan mengerikan.

Sudah dimuat di Kompasiana, 18 Mei 2020
Referensi: Berbagai sumber
Foto: Koran Tempo

الخميس، مايو 07، 2020

Selamat Jalan Saudaraku, Surbani



Bulan Mei 1990, saya saat itu adalah seorang pemuda luntang-lantung. Setelah lulus SMA tahun 1986, saya sempat mencicipi Program PTUP Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto. Merasa belum siap dengan program perkuliahan di program itu, saya mundur. Menunggu Sipenmaru tahun berikutnya, 1987. Saya mendaftar di Fakultas Biologi di universitas yang sama. Alhamdulillah diterima. Namun saya hanya bertahan tiga semester menyandang status sebagai mahasiswa. Saya nggak tega lihat orang tua memaksakan diri untuk membiayai kuliah saya. Sementara adik-adik saya banyak dan mereka lebih membutuhkan biaya. Maka sejak saat itu, status saya berubah, dari seorang mahasiswa menjadi seorang pemuda luntang-lantung alias pengangguran.

Setelah kurang lebih dua tahun menjadi pengangguran, sekitar bulan Mei 1990, saudara sepupu yang pulang dari Jakarta datang ke rumah. Dia adalah Surbani atau biasa dipanggil Reban. Dia anak dari wa saya, anak kakak dari ibu saya. Saat itu dia sudah lama merantau di Jakarta, mungkin sudah lima tahun lebih. Orangnya baik, ramah dan suka menolong orang lain, terlebih saudara-saudaranya.

“Bad, mau nggak ke Jakarta?” kata dia pagi itu
“Mau. Kapan berangkatnya?” jawab saya sambil bertanya balik
“Nanti sore!,” jawab dia tegas
“Hah, nanti sore,” kata saya lumayan kaget.
“Iya, nanti sore berangkat,” kata dia meyakinkan
“Baiklah, saya bicara dulu sama Bapane dan Yayune (Bapak dan Ibu,” kata saya

Sayapun menyampaikan niat saya ke Jakarta sekaligus berpamitan kepada kedua orangtua. Kemudian saya mengemas pakaian dan keperluan lain untuk dibawa.

Tibalah sore yang dinanti. Dari rumah berjalan menuju jalan raya desa Kembangan, Purbalingga Jawa Tengah. Di dekat jembatan sungai serayu, di situ kami menunggu bis yang berangkat menuju Jakarta. Saya nggak tahu kenapa Saudara saya, Surbani nunggu bis di situ. Kenapa tidak ke loket penjualan tiket? Atau waktu itu belum ada, entahlah.

Satu bis datang, di-stop, tidak berhenti. Bis kedua datang di-stop, jalan terus. Mungkin bis itu sudah penuh, batinku. Sampailah bis yang ketiga di-stop dan berhenti, masuklah kami berdua ke bis itu.
Pagi buta kami berdua tiba di ibu kota. Deru mesin Metromini dan aroma knalpot Kopaja menyambut kedatangan kami. Dari terminal Pulau Gadung, kami melanjutkan perjalanan menuju terminal Blok M. Dari terminal Blok M, kami naik Kopaja 616 menuju Cipedak, Ciganjur. Tempat yang dituju adalah Foto Copy IKA, depan kampus ISTN Srengseng Sawah Jakarta Selatan.

Di tempat inilah saya mulai belajar atau “kuliah” kehidupan. Inilah pembelajaran yang sesungguhnya. Dengan telaten, Surbani mengajari saya bagaimana mem-foto copy dokumen. Saya juga diajari laminating, menjilid, dan sebagainya. Bukan hanya soal teknik, Surbani juga mengajarkan ke saya bagaimana melayani customer (pelanggan). Juga bagaimana menghadapi komplain mereka. Di sini saya pernah merasa ketakutan dibentak mahasiswa orang Batak.

“Di sini mahasiswanya dari berbagai daerah, termasuk banyak orang Batak. Orang Batak itu memang logatnya begitu. Sebenarnya dia tidak marah, tidak membentak, tapi memang gaya bicaranya seperti itu,” kata Surbani menenangkan saya.

Suatu kali, di hari libur, Surbani mengajak saya jalan-jalan, ke Blok M kalau tidak salah. Meski tidak dia ungkapkan, saya merasa saat itu dia sedang mengajari saya bagaimana menyeberang jalan di ibukota. Seperti diketahu, cara menyeberang jalan raya di desa dan di kota memang sedikit ada perbedaan dan orang yang baru datang dari desa memang harus belajar menyesuaikan itu. Surbani juga mengajari saya bagaimana naik eskalator di mall. Maklumlah, orang baru datang dari kampung. Tapi poin-nya bukan itu. Saking baiknya, Surbani sampai mengajari hal-hal kecil sedetail itu.

Saya memang tidak lama bekerja bersama Surbani di Foto Coopy IKA di Srengseng Sawah. Hanya dua minggu dan belum sempat gajian. Seorang pelanggan menawari saya untuk bekerja sebagai pesuruh di sebuah sekolah swasta di Depok. Saya tertarik. Setelah saya ngomong dengan Surbani, dia mengijinkan. Maka sejak pertengahan Juni 1990, saya memulai petualangan baru sebagai pesuruh di sebuah sekolah swasta di Depok.

Setelah itu kami berpisah. Terkadang kami saling berkunjung. Terkadang saya datang ke Cipedak. Di saat lain Surbani datang ke markas saya di Depok. Waktu terus berlalu. Surbani berkali-kali pindah tempat kerja. Saya pun beberapa kali pindah tempat kerja. Memang masih saling berkunjung, namun sudah semakin jarang seiring kesibukan masing-masing.

Sekitar tiga tahun lalu, adik saya kasih kabar kalau Surbani sakit. Saat itu saya sempatkan menengok ke rumahnya di wilayah kampung Stangkle Depok. Meski badanya terlihat agak kurus, namun saat itu dia dalam kondisi yang agak sehat. Hal itu terbukti dengan menjemput saya di depan gang ketika saya kesasar.Saat itu Surbani menceritakan kalau dirinya kena penyakit gula. Beragam ikhtiar sudah dia lakukan, mulai dari medis hingga obat herbal.

Saya baru bertemu lagi, mungkin sekitar setahun setengah kemudian. Kondisi kesehatannya sudah agak menurun. Saat saya berkunjung ke rumahnya, dia berencana mau berobat di kampung. Dia akan dibawa ke kampung oleh kakaknya, Ruswan. Namun saat saya di rumahnya, kang Ruswan masih ada di rumah adiknya yang lain, Japar. Jadi saya tidak sempat ketemu mereka karena saya harus pulang ke Ciputat.

Setelah dirawat di kampung, kabar yang saya terima Surbani sudah sembuh dan sehat kembali. Saya memang selalu menanyakan kabar Surbani melalui adik-adik saya. Setelah itu bahkan kabarnya sudah sehat dan bekerja lagi. Saya pun berucap syukur Alhamdulillah.

Namun Allah, Tuhan Maha Kuasa berkehandak lain. Kemarin  siang (Sabtu, 2 Mei 2020), saya mendapat kabar Surbani berpulang ke Ramhatullah. Innalillahi wa innailaihi rojiuun.

Sedih mendengarnya. Pikiran berputar kembali ke masa lalu. Bagaimana dia baiknya kepada orang lain, terutama kepada saudara-saudaranya. Bukan hanya saya, adik-adik saya juga bekerja di Jakarta lantaran dia yang membawa. Juga saudara-saudara yang lain. Bahkan beberapa orang lain dari kampung. Dia memang orang baik. Saya yakin, Allah Swt akan melipatgandakan amal dan kebaikannya.

Selamat Jalan Saudaraku, Surbani Bin Martasim

Semoga Allah Swt mengampuni segala dosa-dosanya, menerima semua alam ibadahnya dan semoga Khusnul Khotimah, Aamiin. 

Allahumma firlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fuanhu, Al Fatihah



Daftar Bupati Purbalingga

DAFTAR BUPATI PURBALINGGA Foto: Dyah Hayuning Pratiwi, Bupati Purbalingga (medcom.id) Tahukah Anda, bupati Purbalingga saat ini y...