Meski saya sangat menyukai mengarang sejak di bangku sekolah dasar, namun tak pernah terlintas di benak saya untuk bercita-cita menjadi seorang pengarang atau penulis. Kecuali hanya membayangkan seandainya saya adalah seorang pengarang buku tertentu yang telah saya baca. Baru sebatas membayangkan dan mengandaikan. Belum sampai ada rasa di lubuk hati untuk berniat menjadi seorang penulis. Bagaimana mau menjadi seorang penulis kalau caranya saja tidak tahu. Jadi karena tidak tahu caranya dan kurangnya informasi tentang dunia tulis menulis membuat saya tak memiliki keinginan menjadi seorang penulis walaupun saya suka.
Semua itu mungkin terjadi karena minimnya informasi yang saya miliki tentang dunia kepenulisan. Masa sekolah saya dari SD hingga SMA saya jalani di daerah di mana yang namanya buku, majalah, dan koran masih sangat jarang dan mahal. Saat SMP hingga SMA saya suka meminjam majalah MOP, terbitan Suara Merdeka Semarang, di perpustakaan sekolah. Selain itu ada juga Intisari. Mungkin Cuma itu, yang lainnya jarang atau tidak ada. Koleksi buku perpustakaan terbatas, koran mungkin hanya kepala sekolah atau guru yang membacanya.
Rasa keingin-tahuan saya membawa saya untuk mencari bacaan-bacaan. Karena minimnya bahan bacaan yang ada, saya sering membaca koran bekas bungkus, entah bungkus makanan atau bungkus barang yang lain. Di kampung saya saat itu, yang sering saya temui adalah koran Kompas. Karena sering membaca Kompas, walau koran bekas bungkusan, saya jadi merasa sangat enjoy dan familiar dengan Kompas. Bahkan hingga saat ini, saya kalau membaca koran kalau bukan Kompas rasanya kurang lengkap. Menurut saya, Kompas itu korang yang isinya paling lengkap. Ini pendapat pribadi saya yang tentunya pasti subyektif.
Seiring perjalanan waktu, tahun 2003 saat saya bekerja sebagai staf tata usaha di sebuah sekolah swasta di Ciputat, ketertarikan atau kesukaan saya terhadap dunia kepenulisan kembali menyala. Di tempat kerja ini, karena sekolah Islam berlangganan koran Republika. Saya tak bisa menyembunyikan kerakusan saya terhadap koran. Perpustakaan sekolah hampir setiap hari saya sambangi. Terkadang koran lenyap entah kemana padahal ada artikel yang menarik yang ingin saya baca. Kalau begini, saya biasanya terpaksa membelinya di terminal atau di tempat lain.
Sampai suatu hari, saya membaca sebuah artikel berjudul “Ada Cerpenis di Lantai Enam”, di Republika tanggal 11 Juli 2003. Artikel itu ditulis oleh Irwan Kelana, salah satu wartawan koran tersebut. Komunitas Lantai VI, demikian para cerpenis muda ini menyebutkan diri mereka. Mereka adalah Poniran, Gunadi, Muslim, Sarno, dan Marzuki. Mereka datang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mengadu nasib di Jakarta. Usia mereka masih muda, antara dua puluh satu hingga dua puluh enam tahun. Dengan berbekal ijazah SMA, mereka mencoba untuk mengadu nasib di Jakarta.
Mereka bekerja di Depdiknas, ada yang sebagai office boy, dan ada yang sebagai petugas keamanan. Ruang bekas gudang di gedung Depdiknas mereka jadikan tempat tinggal. Di tempat yang sangat sederhana itu pula, mereka belajar menulis di bawah bimbingan cerpenis Hudan Hidayat. Mereka membuat jadwal secara rutin untuk berdiskusi dan menimba ilmu dari sang guru, Hudan Hidayat.
Kepada para pemuda itu, Hudan Hidayat tidak hanya mengucurkan ilmunya, namun dia juga menyuntikan motivasi kepada mereka. ”Kemajuan dan perubahan bisa digapai lewat penciptaan karya kreatif. Kalian bukan pegawai negeri. Nah kalian bisa menggapai itu melalui kegiatan menulis cerpen” kata Hudan Hidayat sebagaimana ditulis Irwan Kelana.
Kisah tersebut telah mengganggu dan menggugah pikiran saya. Hal yang menarik bagi saya adalah kondisi dan nasib mereka nyaris sama dengan apa yang saya alami. Saat pertama kali datang ke Jakarta di tahun 1990, dengan hanya berbekal ijazah SMA, saya mencoba mencari keberuntungan di ibu kota. Pekerjaan pertama saya di ibu kota adalah sebagai operator foto copy di sebuah toko di depan kampus ISTN Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Setelah itu saya bekerja sebagai office boy di sebuah sekolah swasta di Depok. Bersama rekan sesama office boy, saya juga memanfaatkan sebuah ruangan di sekolah tersebut untuk dijadikan tempat tinggal.
Mungkin yang membedakan adalah bahwa mereka bisa bertemu dengan salah seorang penulis hebat Hudan Hidayat. Hudan Hidayat memperkenalkan kepada mereka dunia tulis menulis. Setelah mengenal dunia tulis menulis, mereka lantas memanfaatkan waktu luang mereka untuk belajar menulis. Sampai akhirnya mereka terlahir kembali di dunia yang baru, dunia kepenulisan, sebagai seorang cerpenis.
Sementara yang saya temui saat saya bekerja sebagai office boy adalah televisi. Sehingga waktu senggang yang saya miliki saya gunakan untuk menonton televisi. Hal ini membuat saya suka merenung dan ada penyesalan dalam hati. Mengapa dulu saya membuang-buang waktu dan kesempatan di depan televisi? Mengapa tidak saya gunakan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa saya juga memperoleh berbagai berita dan informasi dari menonton televisi. Namun semua itu tidak sebanding dengan waktu yang terbuang dengan menonton tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat.
Namun pepatah mengatakan, ”Kalau jodoh takan kemana”. Walau saya tak pernah dan belum bertemu dengan seorang guru menulis secara langsung, namun saya bisa bertemu guru menulis melalui bacaan yang saya baca. Setelah saya membaca artikel tulisan Irwan Kelana di Republika, saya merasa dibimbing untuk memasuki dunia kepenulisan. Dunia yang baru yang belum pernah saya datangi walau sudah sering saya bayangkan. Mulai saat itu, timbul tekad dan niat dalam hati, ”Aku ingin jadi pengarang, aku ingin jadi penulis”. Rasanya tidak berlebihan jika saya menyebut Bung Irwan kelana sebagai salah seorang guru saya. Guru yang telah membimbing saya ke jalan kepenulisan.
Motivasi saya untuk menjadi penulis semakin kuat ketika suatu ketika bos saya di tempat kerja menyuruh saya membuat konsep surat dinas. Setelah selesai, konsep surat saya sodorkan. Setelah dibaca, bos langsung meng-acc tanpa koreksi sedikit pun. Saat itu hati saya girang bukan kepalang. Angan pun melayang, ”kalau begitu saya sebenarnya bisa jadi pengarang ya?” pikir saya dalam hati.
Padahal sebenarnya soal konsep-mengonsep surat bukanlah saat itu saja saya melakukannya. Sebagai karyawan tata usaha, saya sudah terbiasa membuat konsep surat. Namun, entah mengapa saat itu saya merasa senang dan bangga bisa mengonsep sebuah surat. Mungkin hal itu karena keinginan saya untuk menjadi penulis sudah tumbuh semenjak membaca artikel tentang komunitas lantai enam.
Perburuan saya terhadap artikel kepenulisan semakin gencar. Berbagai artikel tentang kepenulisan dari berbagai koran dan majalah saya kumpulkan. Beberapa buku tentang menulis juga saya beli. Beberapa buku lainnya saya pinjam dari perpustakaan sekolah, tempat saya bekerja. Benih kepenulisan saya semakin menemukan iklim yang pas ketika saya mulai mengenal internet di tahun 2006. Berbagai artikel tentang kepenulisan saya unduh untuk dipelajari. Saya terus mempelajari teori-teori menulis dan sedikit-sedikit saya praktikkan. Di atas kertas-kertas bekas, biasanya saya tumpahkan berbagai hal yang bergelayutan di pikiran.
Setelah merasa cukup pede, saya mencoba mengirimkan karya berupa puisi ke sebuah koran Republika. Ditunggu-tunggu karya tak muncul, sementara informasi penolakan pun tak pernah saya terima. Kemudian saya mencoba mengirimkan tulisan berupa kisah nyata ke sebuah majalah, nasibnya tak jauh beda, tidak dimuat dan tidak ada kabar.
Saat Piala Dunia 2006 di Jerman sedang berlangsung, saya mengirimkan sebuah tulisan tentang kemungkinan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia. Setelah di print, tulisan tersebut saya kirim melalui faximile ke sebuah koran ibu kota yaitu Seputar Indonesia (Sindo). Di tulisan itu, saya mengungkapkan kemungkinan Indonesia bisa tampil di Piala Dunia. Untuk bisa lolos ke putaran final Piala Dunia, bagi Indonesia meang sangat sulit kalau tidak boleh dikatakan mustahil. Namun ada cara agar Indonesia bisa tampil di Piala Dunia yaitu dengan mejadi tuan rumah. Saat itu, tulisan saya memang tidak dimuat. Tapi, kini semua orang tahu bahwa Indonesia mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022.
Di akhir tahun 2006 sekolah tempat saya bekerja memasang jaringan internet melalui layanan speedy Telkom. Saat itu pula saya mulai mengenal dunia internet. Karena saat itu saya masih gaptek, saya minta diajari teman bagaimana cara membuka internet dan cara membuat email. Setelah bisa, hampir setiap hari saya berselancar du dunia maya. Karena saya sangat tertarik dengan dunia kepenulisan, maka situs-situs kepenulisan seperti penulislepas dan pembelajar dot com selalu saya kunjungi. Beberapa tulisan saya pernah dimuat di penulislepas. Berbagai milis kepenulisan juga saya ikuti seperti penulislepas, sekolahkehidupan, dan penulisbestseller.
Melalui milis-milis tersebut, saya berkenalan dengan KabarIndonesia, sebuah harian online yang bermarkas di Belanda. Karena tidak memerlukan persyaratan yang sulit, saya pun mendaftarkan diri untuk menjadi penulis di koran online tersebut. Beberapa tulisan saya akhirnya juga dimuat di Harian Online Kabarindonesia (HOKI). Saya termotivasi untuk terus menulis dan mengirimkannya.
Agustus 2007, saya dinobatkan sebagai Citizen Reporter of The Month August oleh Harian Online KabarIndonesia (HOKI). Tulisan-tulisan saya seputar pesta sepak bola Piala Asia tahun 2007 konon menjadi tulisan yang paling sering dibuka oleh para pembaca. Hal inilah yang membuat Redaksi KabarIndonesia menobatkan saya menjadi Citizen Reporter of The Month August 2007.
Setahun kemudian, tepatnya bulan Agustus 2008, saya mendapat beasiswa dari Sekolah Menulis Online (SMO) BelajarMenulis com. Dengan mengirimkan sebuah karya tulis, saya menjadi salah satu di antara lima orang yang dipilih oleh pengelola untuk mengikuti pelatihan menulis di SMO BelajarMenulis secara gratis. Saya belajar menulis secara online di SMO selama kurang lebih empat bulan.
Saat bulan puasa tahun 2008, tulisan saya seputar pengalaman mudik dimuat di rubrik Citizen Journalism koran Republika. Saya menjadi salah satu dari lima atau tujuh citizen reporter yang tulisannya dimuat di koran tersebut. Meski tak mendapatkan honor, saya tetap merasa senang. Betapa tidak, ini adalah kali pertama tulisan saya dimuat di Koran, walau tanpa honor. Sebenarnya pihak Republika menjanjikan souvenir bagi yang tulisannya dimuat. Namun, setelah saya tunggu-tunggu tak pernah ada yang menghubungi saya. Kiriman souvenir pun tak kunjung datang. Tak mengapa, saya tetap senang dan berterima kasih kepada Republika.
Di akhir tahun 2008, saya mengirimkan dua buah tulisan tentang politik. Satu saya kirim ke koran daerah, satu lagi saya kirim ke koran nasional. Hasilnya, belum juga dimuat. Kapok? Tentu tidak. Saya tidak akan pernah kapok hanya karena tulisan saya tidak dimuat oleh sebuah koran. Terlebih di era digital seperti sekarang. Menulis tidak harus di koran. Ada berbagai layanan blog, ada situs-situs yang mau menerbitkan tulisan dari penulis seperti penulislepas, ada koran online seperti KabarIndonesia. Ada pula friendster, twitter, dan belakangan yang sedang booming adalah facebook. Tinggal pilih. Semua bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk pembelajaran menulis dan menerbitkan karya tulis kita. Selamat menulis!
Salam,
Badiyo
Sumber images: www.sudutpandang.com
Sudah diposting di milis LaskarPenulis tanggal 14 Desember 2009
salam kenal pak badiyo, salut terhadap usaha bpk yang tanpa mengenal lelah, saya juga sedang belajar menulis tapi masih belum konsisten.kalo tidak keberatan bagi triknya pak.trima kasih
ردحذفsalam kenal pak badiyo, salut terhadap usaha bpk yang tanpa mengenal lelah, saya juga sedang belajar menulis tapi masih belum konsisten.nurokhim
ردحذفSalam kenal juga mas Nurokhim. Saya masih belajar, meski sudah lama memulainya. Kalau trik saya, pertama bangun motivasi sebagai pondasi. Setelah itu berlatih menulis terus menerus, menulis apa saja. Sejauh ini, itulah yang saya lakukan. Terima kasih. Salam Menulis!
ردحذف