Yayasan Pendidikan Sekolah Islam Al Syukro Ciputat pada Sabtu pagi di bulan Desember 2004 itu masih tampak sepi. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar obrolan dua orang yang sepertinya tengah membersihan kelas. Sumber suara itu ternyata Pak Warno, seorang karyawan senior. Sambil membersihkan kaca jendela dia bercakap-cakap dengan Wasjudi, karyawan baru, yang tengah menyapu lantai sebuah kelas di hari pertama kerjanya.
Saat itu, Wasjudi baru datang dari kampung dan langsung memulai melakukan pekerjaan sebagai cleaning service di lembaga pendidikan tersebut. Berkat jasa baik Pak Warno, dia bisa diterima bekerja di sana. Pria berbadan bongsor dan berkulit hitam itu tak perlu berpikir panjang saat Pak Warno menawarkan pekerjaan. Meski memiliki ijazah STM Pertanian, namun dia sadar bahwa tidak mudah mencari pekerjaan di Jakarta. Maka diterimalah pekerjaan sebagai petugas kebersihan itu.
Pria kelahiran Tegal, 18 Juni 1975 itu termasuk sosok yang ramah dan mudah bergaul. Di lingkungan kerja, dia bergaul dengan siapa saja. Para guru dan karyawan sekolah Al Syukro tak asing lagi dengan sosok yang satu itu. Bahkan Pria yang humoris itu begitu dikenal di kalangan orang tua siswa.
Selain ramah dan humoris, Wasjudi juga dikenal sebagai sosok yang rajin, ulet dan pantang menyerah. Dia rajin melakukan tugasnya sebagai cleaning service. Bahkan dia sering masuk di hari Sabtu dan Minggu untuk membersihkan ruang-ruang kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Dia bekerja tujuh hari dalam satu minggu. Dia rela tidak libur demi tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Sadar akan penghasilannya sebagai seorang cleaning service, dia pun mencari pekerjaan sambilan. Dia pernah mengumpulkan bekas gelas air mineral yang berserakan di Kampus Sekolah Al Syukro untuk dijual. Meski tidak seberapa banyak uang yang dia kumpulkan dari barang bekas itu, namun baginya cukup lumayan untuk sekadar membeli beberapa bungkus rokok. Dengan begitu, dia tidak perlu mengutak-atik gaji jatah istri untuk sekadar memenuhi kegemarannya merokok.
Selain itu, dia juga pernah menjadi penyalur pembantu rumah tangga (PRT). Bermodalkan jaringan yang telah dia bangun dari bergaul dengan kalangan orang tua siswa, dia memberanikan diri untuk menawarkan jasa menyediakan tenaga pembantu rumah tangga. Suatu kali usai lebaran, dia kembali dari kampung dengan dua belas calon pembantu rumah tangga. Sebelum di kirim ke para pemesan, Wasjudi memberi pembekalan dan pengarahan.
Belakangan kegiatan itu tidak lagi dijalankannya. Beberapa orang pemakai jasanya merasa kecewa lantaran para PRT itu tidak betah. Bahkan beberapa diantaranya tidak bisa dipercaya. Satu persatu para PRT itu kembali ke kampung. Akhirnya Wasjudi pun gigit jari.
Meski demikian, Wasjudi bukanlah orang yang mudah patah semangat. Dia adalah sosok yang gigih. Suami dari Sarifah dan bapak dari Muhammad Irham itu tetap tersenyum meski kegagalan dan kesulitan menghampirinya. Dia memiliki slogan yang unik dan menarik yaitu, ”Mari kita mainkan!”. Begitu uniknya, teman-temannya sering menirukan slogan itu.
Pagi itu, ketika suasana masih sepi karena belum banyak karyawan yang datang, Wasjudi sudah memulai tugasnya membersihkan ruangan meski dia baru saja tiba dari kampung. Dia begitu menghargai waktu sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa waktu adalah uang. Maka ketika baru tiba di ibu kota, dia tak mau membuang-buang waktu lagi. Segera dia menyambut baik kepercayaan dan kesempatan yang telah diberikan dengan melaksanakan tugas. Waktu memang begitu berharga. Oleh karena itu, seperti slogan yang diyakini Wasjudi, "Mari kita mainkan!".
Saat itu, Wasjudi baru datang dari kampung dan langsung memulai melakukan pekerjaan sebagai cleaning service di lembaga pendidikan tersebut. Berkat jasa baik Pak Warno, dia bisa diterima bekerja di sana. Pria berbadan bongsor dan berkulit hitam itu tak perlu berpikir panjang saat Pak Warno menawarkan pekerjaan. Meski memiliki ijazah STM Pertanian, namun dia sadar bahwa tidak mudah mencari pekerjaan di Jakarta. Maka diterimalah pekerjaan sebagai petugas kebersihan itu.
Pria kelahiran Tegal, 18 Juni 1975 itu termasuk sosok yang ramah dan mudah bergaul. Di lingkungan kerja, dia bergaul dengan siapa saja. Para guru dan karyawan sekolah Al Syukro tak asing lagi dengan sosok yang satu itu. Bahkan Pria yang humoris itu begitu dikenal di kalangan orang tua siswa.
Selain ramah dan humoris, Wasjudi juga dikenal sebagai sosok yang rajin, ulet dan pantang menyerah. Dia rajin melakukan tugasnya sebagai cleaning service. Bahkan dia sering masuk di hari Sabtu dan Minggu untuk membersihkan ruang-ruang kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Dia bekerja tujuh hari dalam satu minggu. Dia rela tidak libur demi tugas dan tanggung jawab yang diembannya.
Sadar akan penghasilannya sebagai seorang cleaning service, dia pun mencari pekerjaan sambilan. Dia pernah mengumpulkan bekas gelas air mineral yang berserakan di Kampus Sekolah Al Syukro untuk dijual. Meski tidak seberapa banyak uang yang dia kumpulkan dari barang bekas itu, namun baginya cukup lumayan untuk sekadar membeli beberapa bungkus rokok. Dengan begitu, dia tidak perlu mengutak-atik gaji jatah istri untuk sekadar memenuhi kegemarannya merokok.
Selain itu, dia juga pernah menjadi penyalur pembantu rumah tangga (PRT). Bermodalkan jaringan yang telah dia bangun dari bergaul dengan kalangan orang tua siswa, dia memberanikan diri untuk menawarkan jasa menyediakan tenaga pembantu rumah tangga. Suatu kali usai lebaran, dia kembali dari kampung dengan dua belas calon pembantu rumah tangga. Sebelum di kirim ke para pemesan, Wasjudi memberi pembekalan dan pengarahan.
Belakangan kegiatan itu tidak lagi dijalankannya. Beberapa orang pemakai jasanya merasa kecewa lantaran para PRT itu tidak betah. Bahkan beberapa diantaranya tidak bisa dipercaya. Satu persatu para PRT itu kembali ke kampung. Akhirnya Wasjudi pun gigit jari.
Meski demikian, Wasjudi bukanlah orang yang mudah patah semangat. Dia adalah sosok yang gigih. Suami dari Sarifah dan bapak dari Muhammad Irham itu tetap tersenyum meski kegagalan dan kesulitan menghampirinya. Dia memiliki slogan yang unik dan menarik yaitu, ”Mari kita mainkan!”. Begitu uniknya, teman-temannya sering menirukan slogan itu.
Pagi itu, ketika suasana masih sepi karena belum banyak karyawan yang datang, Wasjudi sudah memulai tugasnya membersihkan ruangan meski dia baru saja tiba dari kampung. Dia begitu menghargai waktu sebagaimana pepatah yang mengatakan bahwa waktu adalah uang. Maka ketika baru tiba di ibu kota, dia tak mau membuang-buang waktu lagi. Segera dia menyambut baik kepercayaan dan kesempatan yang telah diberikan dengan melaksanakan tugas. Waktu memang begitu berharga. Oleh karena itu, seperti slogan yang diyakini Wasjudi, "Mari kita mainkan!".
Tulisan ini telah ditayangkan di KabarIndonesia
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق