Saya dan kita semua barangkali sering kali mengalami keragu-raguan untuk berbuat baik. Kita tahu memungut paku yang ada di jalanan itu baik, tapi kita ragu untuk memungut paku itu dan membuangnya ke tempat yang aman. Kita tahu bahwa membantu dan menolong orang lain itu baik, tetapi kita selalu ragu untuk melakukannya.
Melihat paku-paku berserakan di jalanan, hati nurani kita ingin menyingkirkannya agar tidak mencelakaan pengendara. Namun rasa malu, gengsi atau masa bodoh menjadi penghalang niat untuk berbuat baik. Melihat rekan kerja memerlukan bantuan, rasa ingin membantu tentu ada. Namun, gengsi dan ketidak pedulian sering mengalahkan niat baik itu. “Ah, biarin aja itu urusan dia, ngapain amat”.
Ada satu pengalaman yang saya alami beberapa rahun silam. Dalam rangka pendaftaran dan penerimaan siswa baru di sebuah sekolah swasta, dibentuklah panitia. Panitia diketuai oleh A dengan para anggota B, C, D, E dan seterusnya. Salah satu anggota, sebut saja D berpendapat bahwa dia tidak mau repot-repot apalagi bekerja keras untuk menyukseskan kerja panitia. Alasannya adalah karena Ketua Panitianya adalah orang yang tidak disukai dan kurang diterima oleh sebagian besar karyawan di sekolah itu. Menurutnya, kalau kita bekerja keras nanti keenakan dia. Kita yang bekerja keras, dia yang dapat nama baik di mata yayasan.
Sebagai salah satu anggota panitia, saya hanya bisa mengurut dada. Saya tidak sependapat dengannya, namun saya memang tidak bisa membantahnya. Saat itu, beberapa anggota panitia memang akhirnya mengikuti saran D untuk tidak aktif membantu kepanitiaan. Ketidak setujuan saya dengan D saya tunjukkan dengan cara tetap aktif bekerja keras demi suksesnya kegiatan.
Sesungguhnya kebaikan, termasuk kerja keras yang kita lakukan adalah untuk kita sendiri. Meski pada praktiknya di lapangan kita itu membantu orang lain, akan tetapi sebenarnya semua itu akan kembali pada diri kita sendiri. Karena itu, janganlah ragu untuk melakukan kebaikan.
Sumber foto: Google imate
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق