Namun ketika ngobrol dengan teman dan juga melihat media sosial, ternyata banyak orang merasakan hal yang sama. Bahkan seorang teman bercerita ada seorang temannya yang akhirya sampai beberapa kali tidak solat Jum’at lantaran puising mendengarkan khutbah Jum’at yang isinya caci maki terhadap sesama.
Pertanyaannya adalah, Khutbah Jum’at seperti apa yang sejuk dan menenteramkan hati umat itu? Tentu setiap orang punya jawaban masing-masing yang mungin berbeda. Tapi kalau menurut saya adalah khutbah yang mengingatkan jamaah akan keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah. Tanpa dibumbui pesan-pesan politik.
Mengapa begitu, bukankah di dalam agama juga pelajaran politik? Betul. Keduanya memang tidak bisa dipisahkan. Namun kita harus pahami bahwa Agama dan Politik adalah dua hal yang berbeda. Dalam berpolitik kita memang harus membawa agama agar proses peraihan kekuasaan berjalan sesuai tuntunan agama. Namun dalam beragama kita hendaknya jangan membawa politik demi untuk tetap menjaga kesucian agama.
Politik menurut Wikipedia, adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan, baik secara konstitusional maupun inkonstitusional. Sedangkan agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah system yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan.
Meraih kekuasaan politik secara konstitusonal di Indonesia sebagai negara demokrasi, dilakukan melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Baik itu Pileg, Pilkada maupun Pilpres. Bahan dasar untuk meraih kekuasaan politik adalah Opini Publik dan Persepsi. Defnisi sederhana Opini Publik adalah pendapat masyarakat umum. Sementara Persepsi adalah penafsiran dan atau pemahaman terhadap sesuatu.
Di sinilah kita sebagai umat beragama dan sebagai warga Negara harus berhati-hati dalam beragama dan berpolitik. Kata-kata itu bisa dipelintir untuk membentu opini tertentu yang ingin diharapkan. Masa kampanye adalah saat yang paling tepat untuk membentuk opini publik. Jika opini publik sudah bisa diarahkan, maka persepsi publik yang dikehendaki juga akan tercipta.
Selain dipengaruhi oleh opini publik, persepsi seseorang juga dipengaruhi oleh latar belakang seperti tingkat pendidian, pengalaman dan lingkungan. Karena itu tak heran jika persepsi orang terhadap sesuatu yang sama bisa berbada-beda.
Contoh nyata untuk hal ini adalah saat pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu). Sesama umat Islam bisa bermacam-macam pilihannya. Ada yang memilih PPP, PAN, PKB, PKS, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP dan partai-partai yang lain.
Dari contoh itu sudah sangat jelas bahwa politik dan agama memang berbeda. Umat Islam Indonesia tetap bisa bersatu dalam beragama, namun tidak mungkin bisa bersatu dalam politik. Mengapa?
Pedoman dalam beragama Islam itu sama yakni Al Qur’an dan Hadits. Sedangkan pedoman Politik itu persepsi dan opini publik. Opini publik bisa diseting sedemikian rupa sesuai tujuan yang dikehendaki. Persepsi setiap orang jelas bisa berbeda-beda sesuai latar belakang pendidikan, pengalaman dan lingkungan.
Karena itu tanpa seruan pun sesungguhnya umat Islam Indonesia akan sangat mudah bersatu untuk memerangi kebodohan, mengatasi kemiskinan dan memajukan umat Islam. Namun jangan paksakan untuk umat Islam untuk bersikap politik yang sama, karena itu tidak mungkin.
Jangan pisahkan Politik dengan Agama, tapi bedakanlah di antara keduanya.
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق