Tahun 1986, saya lulus SMA. Sebagai seorang pemuda yang sedang haus belajar, saya ingin melanjutkan kuliah meski keadaan ekonomi orang tua tidak mampu. Tanpa bimbingan dan pendampingan siapa pun, saya mendaftar dan ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (Sipenmaru). Maklum, orang tua dan keluarga bukanlah orang berpendidikan tinggi. Teman berdiskusi juga tidak ada karena saat itu saya sangat pemalu dan kuper. Dalam kebimbangan, saya memutuskan memilih D3 PTUP (Kalau tidak salah, Pendidikan Ternak Unggas dan Perah), Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed Purwokerto).
Seleksi saya jalani dan Alhamdulillah diterima. Saat itu, ada dua program yang wajib diikuti oleh mahasiswa baru yaitu penataran P4 dan Latihan Dasar Keprajuritan (LDK). Jadi mahasiswa jaman itu benar-benar digembleng sehingga tahan banting. Saya sudah lupa, kalau tidak kedua program itu masing-masing dilaksanakan satu minggu.
Penataran P4 saya jalani dengan lancar tanpa kendala yang berarti. Sedikit masalah paling hanya keterlambatan kehadiran saya. Maklum, saat itu saya tidak kos namun pulang pergi setiap dari rumah orang tua ke kampus. Saya naik kendaraan umum bis jurusan Wonosobo – Purwokerto yang melintasi kampung saya. Jarak dari kampung saya di desa Kembangan, Bukateja, Purbalingga ke kampus Unsoed Purwokerto kurang lebih 45 km. Waktu tempuh antara 45 hingga 60 menit.
Keterlambatan saya bukan karena macet atau bangun kesiangan. Di masa itu, masih sangat jarang kendaraan umum bis Wonosobo – Purwokerto. Bis pertama yang melintas menuju Purwokerto adalah pukul 06.10 dan itu bis satu-satunya yang berangkat di jam tersebut. Persoalan muncul jika bis itu mogok atau sudah penuh sebelum melewati kampung saya. Praktis saya harus bersabar menunggu bis berikutnya yang datang sekitar 6.20. Lagi-lagi itu pun bis satu-satunya yang datang di jam itu sehingga tak tertutup kemungkinan terjadi hal yang sama. Meski begitu, Alhamdulillah kegiatan Penataran P4 bisa saya ikuti dari awal hingga selesai dan dinyatakan lulus.
Persoalan berat mulai saya dapatkan ketika mengikuti Latihan Dasar Keprajuritan (LDK) ala militer. Selain di bawah bimbingan para Menwa (Resimen Mahasiswa), LDK juga dilatih langsung oleh anggota militer aktif. Para mahasiswa baru digembleng baik fisik maupun mental. Saya mulai merasakan masalah berkenaan dengan kondisi fisik. Hari pertama dan kedua saya jalani dengan lancar. Hari ketiga saya terlambat. Saya dihukung berjalan jongkok mengelilingi lapangan. Fisik langsung ngedrop dan saya mohon izin untuk keluar arena latihan dan beristirahat di tempat yang telah disediakan.
Di sana, ternyata banyak para mahasiswa baru, laki maupun perempuan yang terkapar seperti saya. Mulai dari yang pusing-pusing, masuk angin, hingga sampai ada pula yang pingsan. Semua mendapat perawatan P3K dari mahasiswa senior anggota PMR dan petugas medis. Ternyata asyik juga beristirahat di ruang khusus bagi mahasiswa yang sakit. Kepala saya yang merasakan pusing, dipijit-pijit oleh petugas yang barangkali anggota PMR. Saya tidak tahu dan kenal siapa dia. Saya hanya tahu sikap dan tindakannya sangat baik dan menyenangkan.
Usai beristirahat dan dirasa sehat dan pulih, saya kembali ke arena latihan. Saya dipanggil oleh Serka Subardi, Komandan Peleton di mana saya ikut latihan. Dengan badan yang subur dan kumis tebal, Serka Subardi tampak garang. Namun di balik kegarangannya, dia adalah sosok yang lembut dan baik hati.
Mengetahui kondisi saya yang setiap hari pulang pergi Bukateja – Purwokerto, dia menyarankan agar saya menginap di asrama Batalyon Purwokerto selama ikut LDK. Dia menyatakan bahwa salah satu rekan dia, Peltu Mufti yang tinggal di asrama itu siap menampung saya untuk sementara.
Dengan bekal alamat yang diberikan Serka Subardi, esok harinya saat usai latihan saya pulang ke rumah Bapak Peltu Mufti. Saya menginap beberapa hari di sana hingga kegiatan LDK selesai.
Bersambung ......
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق